Laman

07 April, 2015

“Pala Petaka Negeri Agraria”

Lebih 100 hari presiden Jokowi serta pasangannya Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah memimpin Negeri Indonesia, untuk gebrakan dalam sektor agraria masih belum terasa oleh masyarakat kecil di pelosok desa. Mengingat, yang digaungkan pemerintahan revolusi mental mencakupi permasalahan agraria sudah ada kementerian tersendiri di dalam Kabinet pemerintahan Rezim Jokowi dan JK. Beberapa waktu lalu kita ketehui tuntutan dari kalangan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menuntut ke presiden untuk segera membentuk Lembaga Sengketa Lahan. Kondisi, masalah agraria yang begitu banyak sekali data statistik mencatat selama 10 tahun kepemimpinan SBY juga terdapat 987 kasus agraria.  

Sementara menurut data yang dikumpulkan AGRA (Aliansi  Gerakan Agraria) dari berbagai sumber, akibat konflik agraria selama 10 tahun (2004—2014), lebih dari 1.000 orang petani dipenjara, 556 kaum tani mengalami luka-luka, 65 orang kaum tani meninggal, akibat konflik agraria juga telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektare. Di mana terdapat lebih dari 926.700 kepala keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan politik berkepanjangan..
 
Hasil SP 2013 serta data dan fakta yang disampaikan KPA dan AGRA sesungguhnya hendak memberikan gambaran politik hukum agraria kita. Selama 10 tahun di bawah kepemimpinan SBY, tampaknya justru semakin mengokohkan ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan pengusahaan sumber-sumber agraria, yang pada gilirannya melahirkan atau menimbulkan konflik tak berkesudahan dan juga meluasnya kerusakan lingkungan hidup. Hasil sensus pertanian (SP) 2013 menyebutkan jumlah rumah tangga usaha pertanian saat ini sebanyak 26,13 juta rumah tangga atau menurun sebanyak 5,04 juta rumah tangga bila dibandingkan dengan hasil SP pada 2003. Di sisi lain, jumlah perusahaan pertanian bertambah dari 4.011 perusahaan per 2003 menjadi 5.486 perusahaan pada 2013. Menurunnya rumah tangga pertanian ternyata berbanding lurus dengan peningkatan perusahaaan pertanian.
 
Dari beberapa data di atas Negara kita yang berpulau-pulau ini memang sangatlah sulit untuk mengurusi permasalahan agraria, terkadang masalah yang ditimpulkan sendiri pun dari pihak pemerintahan, kita ketahui bersama pemerintah kerap kali Mengizinkan perusahaan asing dengan guna istilah bisa HGU guna bisa garap lahan di Indonesia yang notabenanya terkadang tanah tersebut masih dimiliki warga inilah penyebab konflik itu terjadi. Seharusnya peran dari BPN ada dalam control masalah Agraria ini bukan malah membiarkan menjadi konflik. Contoh yang terjadi di PT. Cinta Manis, sampai saat ini masih saja belum bisa terselesaikan masalahnya, terus masalah PTPN IIV Suban MUBA hal ini pun masih sama belum bisa terselesaikan dengan baik.
 
Dewasa ini kita dihadapkan pada persoalan tumpang tindih hukum dan peraturan. Saat ini sedikitnya terdapat 12 undang-undang yang tumpang tindih; 48 peraturan presiden; 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, dan 496 peraturan/keputusan/surat edaran dan instruksi menteri negara/kepala BPN yang mengatur soal agraria. Tumpang tindih semacam ini sudah pasti akan melahirkan disharmoni hukum berupa peraturan hukum yang levelnya sama tapi sering mengatur secara berbeda atau bahkan bertolak belakang. Persoalan lainnya adalah terdapat berbagai macam kementerian/lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengatur pengelolaan SDA. Minimnya koordinasi pada akhirnya sering melahirkan kebijakan yang tumpang tindih terhadap suatu lokasi. Hal ini semakin diperburuk dengan perilaku aparat birokrasi kita yang berwatak pemburu rente melalui berbagai izin yang ia keluarkan. Sering kita saksikan di media, banyak pejabat yang ditangkap KPK atau aparat penegak hukum lainnya karena menerima suap terkait penerbitan izin tertentu. Pada situasi semacam ini, tak salah bila Ahmad Sodiki (2013: 32) mengatakan berbagai peraturan agraria pada akhirnya menjadi alat menghalalkan “pencurian” harta milik rakyat (het recht als instrument van diefstalllen).
 
Rakyat Indonesia sangat menunggu reformasi agraria dari Rezim Pemerintahan Jokowi-JK, reformasi yang mendasar untuk kesejahteraan rakyat kecil serta memanfaatkan seluas-luasnya kementerian agraria untuk menyelesaikan masalah konflik antara para pemilik modal asing dan petani pribumi itu sendiri. Kalau pun dalam hal hukum segera evaluasi undang-undang yang timpang tindih mengenai agraria.  Mari kita tegakkan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 harus di Implementasikan dalam kehidupan Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar