Laman

22 November, 2015

Falsafah PANCASILA dalam Kerangka Berpikir KAMMI.

Dari sabang sampai merauke itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia yang di lintasi garis khatulistiwa menyebabkan Negara ini tersubur dunia khususnya Negara di Asia Tenggara. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6 derajat LU – 11 derajat 08’LS dan dari 95 derajat’ BB – 144 derajat 45’ BT serta terletak diantara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Osenia. Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena itu Indonesia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Dari populasi penduduknya sebesar 250 juta jiwa, Indonesia adalah Negara berpenduduk tebesar keempat di dunia dan Negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah Negara Islam. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km2 dan luas perairannya 3.257.483 km2. Pulau terpadat penduduknya adalah Pulau Jawa dimana setengah populasi Indonesia bermukim. Indonesia terdiri dari  5 Pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km2, Sumatera dengan luas 473.606 km2, Kalimantan dengan luas 539.460 km2, Sulawesi dengan luas 189.216 km2, dan Papua dengan luas 421.981 km2.
Sungguh kaya Indonesia yang besar ini, kita sebagai pewaris Negeri merasakan atau jangan-jangan tidak merasakan kekayaan bangsa sendiri. Para Pahlawan yang telah berjuang di medan Perang, kini kita sebagai Pemuda harus mengambil peran dalam setiap kebijakan untuk bangsa Indonesia. Sudah sewajarnya Pemuda menjadi tonggak depan Bangsa ini. Kalau pun Pemuda tidak ada yang mengambil tonggak estafet kepemimpinan ke depannya maka, Indonesia tinggal Nama dan Kenangan sebagai bangsa yang Besar. Saatnya kita memulai dengan membangun pinggiran perkotaan terus pinggiran desa sehingga orang tua kita dan Para Pejuang yang mendahului kita tidak merasa sedih melihat bangsanya hidup merdeka, tidak kelaparan, tidak ada lagi kemiskinan, dan tidak ada lagi yang tak setara hidup semua sama di mata Manusia dan di mata Masyarakat. Mereka akan bangga melihat begitu besar peran Pemuda dalam Pembangunan bangsa.
Kita melihat usia Indonesia sudah tidak semakin mudah lagi malah semakin tua, sudah usang berumur puluhan tahun lamanya merdeka Indonesia. Sudah tercantum 17 Agustus 1945 ini menandakan lahirnya Indonesia Negara Merdeka berdaulat di atas Negeri sendiri. Bangsa ini sudah lama lahir hampir 70 tahun lamanya kita masih dengan keterbatasan di Negara sendiri. Sadar atau tidak sadar bahwa setiap hidup kita selalu mengantungkan diri kepada Negara lain mulai, dari ujung kepala yang kita pakai sampai kaki semuanya itu terkadang bergantung dengan bangsa lain. Kapankah kita merdeka dan tidak bergantung dengan Negara lain ? kalau pun ilmuwan, professor, pengamat menjawabnya pasti panjang lebar sampai ke akar-akarnya namun, akhirnya mentah pemerintah tidak butuh dengar kata-kata mereka. Pemerintah sudah ada solusi yang lebih efektif ketimbang dari kalangan intelektual itu. Memang sulit kita memikirkan bangsa yang besar ini, 1 hari saja tidak cukup untuk memikirkan bangsa yang namanya INDONESIA.
Beberapa pemimpin yang sudah memimpin bangsa Indonesia memiliki gaya wajah Pemimpin masing-masing tidak ada yang sama mulai dari Presiden Soekarno sampai Presiden sekarang Jokowi. Setiap Pemimpin juga memiliki kekurangan dan kelemahannya sendiri dalam memimpin bangsa ini. Inilah gaya kepemimpinan presiden Indonesia dari masa Soekarno-Susilo Bambang Yudhoyono:
1.     Presiden Soekarno
Presiden pertama Republik Indonesia ini adalah seorang orator ulung yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang populis, bertemperamen meledak-ledak, dan menyukai keindahan. Gaya kepemimpinan beliau beroriaentasi pada moral dan etika ideology yang mendasari Negara atau partai, sehingga konsisten dan fanatik. Sifat kepemimpinan yang menonjol adalah penuh percaya diri, penuh daya tarik, inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta melepas ketergantungan dari Negara-negara Barat.
2.     Presiden Soeharto
Pemimpin kedua Indonesia ini merupakan pemimpin yang mempunyai visi dan misi, serta target jangka pendek dan jangka panjang yang jelas. Mahir dalam strategi details dan pandai dalam menggunakan kesempatan. Pembawaanya formal dan tidak hangat dalam bergaul. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari proaktif-ekstratif dengan adaptif-antisifatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan sadar akan langkah penyesusaian.
3.     Presiden BJ. Habibie
Gaya kepemimpinan Presiden ketiga ini adalah desikatif-fasilitatif, yang merupakan sendi dan kepemimpinan demokratik. Terbukti dengan kebebasan pers yang dibuka selebar-lebarnya sehingga melahirkan Demokratisasi yang luas. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan resikonya. Sehingga, jika dalam kondisi emosional, ia cenderung mengambil keputusan dengan cepat.
4.     Presiden Abdurrahman Wahid
Seorang kiyai yang akrab disapa Gus Dur ini bersifat liberal, penuh ide, dan berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinannya adalah responsive-akomodatif, yang berusaha mengagresikan semua kepentingan beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan satu kesepakatan memiliki keabsahan.
5.     Presiden Megawati
Presiden perempuan pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh menghadapi persoalan. Namun, dalam hal tertentu memiliki determinasi dalam memimpin. Gaya kepemimpinan yang anti kekerasan, dan cukup demokratis. Beliau lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran.
6.     Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden ke-enam ini Presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sosoknya Demokratis, menghargai rakyat, tetapi selalu defensive terhadap kritik. Pembawaan SBY yang karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara, tampak agak formal. Beliau selalu santum dalam berpenampilan dan berbusana. Sebagai pemimpin beliau mampu mengambil keputusan kapan pun, dimana pun, dan dalam kondisi apa pun. Setelah mengetahui gaya kepemimpinan enam presiden di atas, bagaimana dengan gaya kepemimpinan Presiden ke-7 yaitu Joko Widodo, kita nantikan lima Tahun ke depan mulai dari sekarang.
PANCASILA Dalam Dialetika Konstituente.
Kita hari ini harus tahu bahwa PANCASILA itu bukanlah menjadi Ideologi bangsa Indonesia melainkan sebagai Dasar Negara tidak lebih. Makanya, yang terdiri dari beraneka ragam dan Islam sebagai Basis Mayoritas di Indonesia Namun, saat ini sudah terjajah dan tertati-tatih. Ummat Islam harus merumuskan falsafah KeIslaman Indonesia karena dasar Negara bangsa ini PANCASILA saja tidak bisa menjadi tolok ukur dalam bernegara. Ulama dan Funding Father kita telah merumuskan PANCASILA ini dengan begitu panjang melalui sidang-sidang yang berhari-hari dan berjam-jam. Dalam pembicaraan tentang dasar Negara berlangsung dalam dua masa persidangan pertama; dari 11 November hingga 7 Desember 1957 dan kedua; dari 22 April hingga 2 Juni 1959. Pada masa persidangan pertama, tampil 101 orang pembicara yang mengungkapkan aspirasi Politikmasing-masing,disertai berbagai argumentasi, termasuk bantahan dan kritikan terhadap pandangan kelompok lain.
Secara garis besar, pandangan para anggota Konstituante tentang dasar Negara dapat dikelompokkan dalam tiga blok Ideologi. Pertama; Ideologi PANCASILA yang hanya mendapat dukungan dari PNI yang besar bersama golongan-golongan Nasionalis yang lebih kecil, seperti IPKI, PIR, GPPS, dan PRN. Tetapi, juga didukung oleh PKI dan golongan-golangan yang beraliran komunis, seperti acoma dan Republik Persatuan, termasuk PSI dan Permai yang beraliran Sosial-Demokratis.Selain itu, PANCASILA juga didukung oleh Baperki yang terdiri dari minoritas keturunan China, serta Parta-partai keagagamaan Non-Islam seperti Prakindo dan Partai Khatolik sehingga berjumlah 275 Orang. Kedua; ISLAM yang mendapat dukungan lima Partai Masyumi, NU, PSII, Perti dan PPTI serta didukung oleh tiga kelompok dan perorangan lain yakni GPS, AKUI, dan Idrus Effendi dengan Total Pendukung berjumlah 230 Orang. Ketiga; SOSIAL EKONOMI hanya didukung oleh 9 Orang anggota majelis yang berasal dari Partai Buruh dan Purba. Oleh karena sedikitnya dukungan bagi Ideologi ketiga maka, wajar apabila beberapa peminat sejarah Politik Indonesia menyatakan bahwa Perbincangan lantas terfokus hanya pada 2 rancangan dasar Negara yaitu Islam dan Pancasila.
Karena tidak menemukan solusi untuk kedua dasar Negara maka, Sidang Pleno Pada 6 Desember 1957 memutuskan bahwa perdebatan tentang dasar Negara perlu ditangguhkan dan membentuk Panitia Persiapan Konstitusi (PKK) yang ditugaskan rumusan yang akan memungkinkan tercapainya kompromi. Namun melihatnya lambatnya menentukan dasar Negara di Persidangan. Ternyata di luar perkembangan sidang adanya pertemuan AD yang dimotori oleh Jenderal Abdul Haris Nasution menyatakan dalam suatu pertemuan militer di Padang 13 Februari 1959, bahwa TNI AD sedang memelopori usaha untuk kembali UUD Proklamasi 1945. Kabinet Djuanda memutuskan “akan melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945” yang akan dilakukan secara Konstitusional. Keputusan Kabinet itu sudah disampaikan kepada Presiden Soekarno sehari kemudian dan Soekarno menerima keputusan itu. Sesuai dengan keputusan untuk mengikuti prosedur konstitusional maka, pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno atas nama Pemerintah menyampaikan Pidato di hadapan sidang Konstituente untuk mengajak kembali ke UUD 1945. Semua Fraksi di Konstituente setuju dengan usulan Pemerintah itu, kecuali Masyumi dan Fraksi-fraksi Islam lainnya. Sebagai tuntutan minimal, mereka meminta agar dalam Pembukaan UUD 1945 itu ditambahkan dengan Piagam Jakarta dan pada pasal 29 Ayat 1 diberi amandemen sehingga berbunyi seperti yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Oleh karena tidak ada kesepakatan terhadap kedua usulan yaitu kembali ke UUD 1945 apa adanya seperti ditetapkan pada 18 Agustus 1945 atau kembali ke UUD 1945 dengan amandemen seperti yang diusulkan oleh Fraksi-fraksi Islam maka, jalan keluarnya dilakukan Voting, ternyata kedua usulan itu tidak berhasil mendapat dukungan dua per tiga suara yang hadir seperti yang diisyaratkan untuk menetapkan UUD baru, sidang pun mentok dan lumpuh. Majelis menemui jalan buntu karena mayoritas anggotanya terutama dari Fraksi-fraksi bukan Islam tidak mau lagi menghadiri Sidang-sidang Kostituente. Bahkan, beberapa anggota menyarankan agar Kostituente dibubarkan. Sebagai jalan keluar, akhirnya Ketua Majelis menyatakan Konstituente memasuki masa reses. Ternyata, resesnya Konstituente itu adalah untuk selamanya, karena Presiden Soekarno melalui Dekritnya menyatakan pembubaran Konstituente. Dekrit yang dirumuskan di Istana Bogor pada 4 Juli 1959 itu, diumumkan secara resmi oleh Presiden Soekarno pada Ahad, 5 Juli 1959 pukul 17:00 WIB di depan Istana Merdeka Jakarta. Dekrit Presiden itu berisi sebagai berikut:
1.      Pembubaran Majelis Konstituente.
2.      Berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3.      Pembentukan MPRS dan DPSAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit ini bearti mengakhiri hak hidup dan keberadaan Konstituente yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu 1955. Dekrit itu juga menutup kesempatan bagi Konstituente untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya, yakni membuat UUD baru yang lebih baik yang lebih baik dan lengkap bagi Negara Republik Indonesia. Padahal menurut Mr. Wilopo yang menjabat Ketua Konstituente, “Majelis ini sudah dapat menyelesaikan 90% tugasnya.” Seandainya Majelis ini diberikan kesempatan beberapa bulan lagi saja, tanpa ada intervensi dari luar niscaya Kostituente dapat menyelesaikan tugas yang dipercayakan segenap rakyat Indonesia dengan tuntas dan baik, termasuk tentang dasar Negara.
Peranan Natsir Dalam Memperjuangkan Ideologi Negara.
Pada tanggal 12 November 1957, Natsir menyampaikan pidatonya dalam sidang pleno Konstituente dengan judul Islam sebagai dasar Negara. Dalam pidatonya itu, Natsir menyatakan bahwa “Indonesia hanya mempunyai dua alternatife pilihan sebagai dasar Negara; paham Sekularisme (la diniyah) atau paham agama (diniy)”. Agak panjang Natsir menjelaskan paham Sekularisme itu dan akibatnya apabila masuk dalam ketatanegaraan. Uraian tentang Sekularisme itu ditutup oleh Natsir bahwa, “PANCASILA bukan bersumber kepada satu wahyu ilahi”, oleh karena itu PANCASILA adalah sekuler sebab dia merupakan produk manusia. Setelah itu, Natsir menjelaskan bahwa Islam memelihara yang telah ada dan menumbuhkan yang belum ada dalam PANCASILA. Dari kaidah-kaidah Islam yang banyak terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dia menerangkan tujuh butir diantaranya mengenai:
1.      Nilai-nilai tolong-menolong.
2.      Nilai-nilai Demokrasi atau Musyawarah.
3.      Nilai-nilai cinta tanah air.
4.      Nila-nilai cinta Kemerdekaan.
5.      Nilai-nilai kesukaan membela yang lemah.
6.      Nilai-nilai mementingkan diri sendiri serta kesedian hidup dan memberi hidup.
7.      Nilai-nilai toleransi antara para pemeluk agama-agama.
 Semua nilai diatas, diuraikan secara mendalam oleh Natsir, disertai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Akhirnya Natsir mengimbau kepada para pendukung PANCASILA,
“Sila-sila yang saudara-saudara maksud terdapat dalam Islam. Bukan sebagai Pure concepts yang steril, melainkan sebagai Nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riel dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah Negara, saudara-saudara pembela PANCASILA sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung PANCASILA atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu state-philosophy yang hidup, berjiwa, berisi, tegas, dan mengandung kekuatan”. Kepada para pendukung dasar Sosial-Ekonomi, Natsir pun berseru bahwa “dalam Islam, saudara-saudara pasti akan bertemu dengan konsep Sosial Ekonomi yang Progresif.
Selain oleh Natsir, usulan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara juga dikemukakan dalam sidang-sidang Konstituente oleh KH. Masyur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. M.Syukri, dan KH. Ahmad Zaini dari NU Zainal Abidin Ahmad, M. Isa Anshary, Hamka, Mr. Kasman Singodimedjo, Oesman Raliby, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, dan M. Sardjan dari Masyumi O.N Pakaya dari PSII, M. Soekarna Sendjaja dari Gerpis, dan lain-lain. Dari sini tampak bahwa “para politisi Islam dari berbagai partai dapat bersatu-padu dalam mendukung dan mengusulkan Islam sebagai dasar Negara”. Kekompakan kelompok Islam di Konstituente juga dikondisikan oleh serangan-serangan gencar dari kalangan yang tidak menghendaki Islam sebagai dasar Negara. Dalam kondisi ajaran agama mendapat serangan, kelompok Islam bersatu.
Dari beberapa politisi Islam yang menyampaikan pendapat dan pemikirannya, Munawir Sjdzali menyimpulkan bahwa “Masyumi lebih jelas pendapat dan argumentasinya dibandingkan dengan Partai-partai Islam lain”. Hal itu terlihat dari banyaknya tokoh Masyumi yang berbicara di hadapan sidang Konstituente dengan pandangan-pandangan yang argumentatife dan adakalanya menyulitkan para pendukung PANCASILA untuk menjawab atau menangkisnya. Kesimpulan Sjadzali itu diakui oleh Kacung Marijan, “NU sendiri berupaya memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, meski tidak sekuat kalangan pembaru (Masyumi)”. Yang penting disini adalah bersatunya ummat Islam, walaupun hanya dalam masa yang singkat dan setelah Konstituente dibubarkan, kekuatan politik Islam kembali terpecah.
Peranan Natsir dalam perdebatan di Konstituente diakui oleh banyak penulis dan pengamat politik Indoensia, tidak hanya sebagai pemimpin Masyumi, tetapi sekaligus pemimpin kelompok Islam di majelis itu. Lebih dai semua itu, Ahmad Suhelmi bahkan menyebut, “Perjuangan Ideologis Masyumi untuk menegakkan Negara yang didasarkan pada syariat Islam, tidak bisa dipisahkan dari figur Natsir, karena dia adalah ideolog terkemuka partai itu”. Penilaian itu didukung oleh George McTurnan Kahin, Profesor pada Universitas Cornell AS yang menyatakan,
“Mengenai peranan Natsir dalam pekerjaan Konstituente, tampaknya bagi saya dia telah menyelesaikan lebih daripada apa yang ada pada umumnya telah diakui. Ditengah-tengah adanya satu kecurigaan keras pada mulanya oleh Partai-partai non-Islam maka, Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Oesman Relaby, dan pemimpin-pemimpin progresif Masyumi lainnya pada akhirnya telah bergerak jauh dalam menyesuaikan kedudukan partai mereka dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam perwakilan politik di Konstituente”.
Akan tetapi, keberanian Natsir dan temen-temennya dalam menyalurkan aspirasinya mengajukan Islam sebagai dasar Negara, banyak disalah pahami oleh orang-orang yang tidak senang kepada Islam, termasuk Pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Muncul tuduhan bahwa Natsir hendak mendirikan Negara Islam Indonesia. Ada pula yang menyatakan bahwa Natsir tidak mengakui PANCASILA sebagai dasar Negara dan hendak menggantinya dengan Islam. Tuduhan-tuduhan seperti it uterus terlontarkan meskipun dia telah wafat. Misalnya, oleh R. Willam Liddle, “Ide Negara Islam itu tetap hidup, meskipun diungkapkan secara hati-hati”.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan terhadap Natsir itu tidak akan keluar jika dipahami konteks sejarahnya. Memang benar bahwa Natsir pernah berusaha menjadikan Islam sebagai dasar Negara untuk menggantikan PANCASILA yang saat itu sedang berlaku, sebagaimana diuraikan di muka. Namun, mesti dipahami bahwa perjuangan untuk menjadikan Islam atau PANCASILA, bahkan Sosialisme dan Komunisme sekalipun, adalah sesuatu yang legal dan sah dilakukan pada saat itu. Bahkan, lembaga untuk memperjuangkan Ide-ide itu pun dibentuk secara resmi melalui Pemilu 1955, yaitu Majelis Konstituente. Selain itu, harus pula diingat bahwa yang memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, bukan hanya Natsir dan Masyumi (dengan 112 orang anggota), melainkan juga politisi dari NU (91 orang), PSII (16 orang), Perti (7 orang), dan beberapa partai kecil lainnya sehingga jumlah pendukung Islam sebagai dasar Negara 230 orang. Lantas mengapa mereka yang juga tidak kalah vokalnya dalam menyuarakan Islam sebagai dasar Negara, sama sekali tidak disoroti dan dipermasalahkan.
Adalah kenyataan sejarah bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Konstituente terbentuk, Natsir dan para politisi Islam tidak pernah membicarakan soal Negara Islam atau ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Kalau pun dia mau, tentu Natsir telah melakukannya saat dia menjadi Perdana Menteri pada 1950-1951. Bahkan selaku PM, Natsir tidak segan-segan mengambil tegas terhadap kelompok Darul Islam (DI/TII), yang dipimpin S.M. Kartosuwiryo yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia secarainkonstitusional dam melakukan gangguan keamanan di Jawa Barat. Barulah takkala pada sidang-sidang Konstituente diajukan pilihan antara Islam dan PANCASILA sebagai dasar Negara, Natsir harus memilih Islam. Hal itu sebagai konsekuensi logis dari keyakinannya sebagai tokoh Islam dan kedudukannya sebagai pemimpin Partai Islam Masyumi yang mewakili ummat Islam Indonesia, sehingga dia harus bertanggung jawab terhadap ummat dan semaksimal mungkin memperjuangkan amanat ummat yang telah memilih dan mempercayainya.
Walaupun pada akhirnya Konstituente dibubarkan melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan UUD 1945 dengan PANCASILA sebagai dasar Negara dinyatakan berlaku kembali, tidaklah beralasan untuk terus-menerus menuduh Natsir dan para politisi Islam masa itu sebagai kelompok yang anti-PANCASILA. Harus juga diingat bahwa “Dekrit itu telah diterima secara aklamasi oleh DPR hasil pemilu 1955, termasuk wakil-wakil golongan Islam yang merupakan 45% dari seluruh anggota DPR”. Meskipun tidak menerima cara dekrit itu dikeluarkan, karena ia adalah bentuk dari suatu tindakan Otoriter dan Diktator, bukan hasil Musyawarah, Masyumi menyetujui Dekrit itu. Hal itu ditegaskan oleh Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua Masyumi saat itu, dalam notanya kepada Presiden Soekarno, tertanggal 28 Juli 1959, yang berbunyi:
            “Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada UUD yang berlaku dan oleh karenanya, merasa berhak pula untuk meminta, dimana perlu untuk menuntut, kepada siapa pun, juga sampai Pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada UUD sebagai landasan bersama hidup bernegara”.
            Namun, kenyataan sejarah pula yang membuktikan bahwa Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya banyak menyalahi dan melanggar UUD 1945 yang dia berlakukan sendiri. Sebaliknya, Natsir bersama tokoh-tokoh Masyumi yang berusaha memperingatkan Soekarno untuk bertindak sesuai dengan UUD 1945, malah diteror dan diintimidasi sehingga tidak lagi merasa aman untuk tinggal di Ibu Kota Jakarta. Oleh sebab itu, ketika Konstituente dibubarkan, Natsir sudah tidak lagi berada di tengah-tengah para anggota majelis yang terhormat itu. Sejak akhir 1957, Natsir telah hijrah ke Sumatera bersama keluarga dan beberapa tokoh Masyumi lainnya.
Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI dalam Falsafah PANCASILA.
Secara teori dan praktik, ilmiyah atau falsafah, Pancasila yang berarti kelima dasar itu tidaklah merugikan Islam. Sebaliknya, kalau umat Islam memegang teguh dan mengamalkan agamanya, tidaklah Pancasila akan rugi. Malahan ada banyak orang di Indonesia ini, termasuk penulis ini sendiri, mempunyai keyakinan hidup yang tidak dapat diubah, demi kebebasan berpikir, dan demi kemuliaan logika. Bahwa dengan teguh kokohnya kaum Muslimin menjalankan sepanjang ajaran agama Islam, Pancasila akan terjamin keutuhannya. Bahkan lebih tegas lagi, “Keteguhan Pancasila akan terjamin bila umat Islam yang 95% ini yakin akan agamanya. Dan kalau umat Islam telah lalai dari agamanya, terutama sudah goyang ajaran tauhidnya, Pancasila terancam runtuh.”
Syaikh Muhammad Abduh pernah mengatakan: “La’anallahus siasata” (Dikutuk Allah politik). Dan berkata beliau pula: “Jika politik telah masuk dari pintu muka, hakikat kebenaran akan terusir keluar dari pintu belakang.” Begitu terangnya jalan yang kita tempuh, namun masih banyak orang yang tidak suka kalau umat Islam kelihatan terpampang dalam zaman pembangunan. Dilemparkan kata-kata bahwa umat Islam tidak menyukai Pancasila.
Hingga kini, setelah 15 tahun lebih era reformasi berjalan, banyak pihak masih terus mencari-cari rumusan baru tentang model penafsiran Pancasila. Bahkan, tidak sedikit yang mulai khawatir akan masa depan Pancasila.  Namun, sebagian masih terus menggebu-gebu mengangkat dan menjadikan Pancasila sebagai ”alat pemukul” terhadap aspirasi umat Islam di Indonesia. Setiap ada peraturan atau perundang-undangan yang diperuntukkan bagi orang Islam di Indonesia, langsung dituduh dan dicap sebagai ”anti-Pancasila” dan ”anti-NKRI”.
Prof. Kasman Singodimedjo, tokoh Islam yang juga anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memberikan pandangan lugas: “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam”.
Pandangan para tokoh Islam, bahwa Pancasila khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep Tauhid, tetap tidak berubah. Dalam satu Makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:  “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Berbeda dengan para tokoh Islam, para tokoh Kristen di Indonesia selama beberapa dekade telah memberikan tafsir Pancasila yang netral agama. Terkait dengan tema Pancasila dan Agama, tokoh Katolik Prof. Dr. N. Drijarkoro S.J. dalam Seminar Pancasila I di Yogyakarta pada tanggal 16-20 Februari 1959, membuat sejumlah kesimpulan, bahwa: “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama, tetapi bukan negara profan, sebab dengan Pancasila, kita berdiri di tengah-tengah. Tugas negara yang berdasarkan Pancasila hanyalah memberi kondisi yang sebaik-baiknya pada hidup dan perkembangan religi. Dengan demikian oleh negara dapat dihindari bahaya-bahaya yang dapat timbul bila agama dan negara dijadikan satu.”
Selanjutnya dikatakan oleh Drijarkoro S.J: “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara yang sekular, karena mengakui dan memberi tempat pada religi. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa negara itu adalah negara agama, sebab negara tidak mendasarkan diri atas sesuatu agama tertentu. Negara yang berdasarkan Pancasila adalah negara yang “potentieel religieus” artinya memberikan kondisi yang sebaik-baiknya bagi kehidupan dan perkembangan religi. Jadi negara Pancasila itu tidak bersikap indifferent terhadap religi. Perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dipandang menurut keyakinan bangsa kita yakni sebagai monotheisme.”
Sedangkan didalam KAMMI sendiri ada tafsir prinsip gerakan KAMMI yang mengakar yaitu  Prinsip Gerakan KAMMI adalah nilai-nilai dasar gerakan yang menjiwai pergerakan KAMMI sebagai suatu amal jama’i. Prinsip Gerakan adalah ciri khas pergerakan KAMMI yang secara unik membedakannya dengan gerakan lain. Prinsip Gerakan merupakan tradisi yang menjadi tetapan (tsawabit) gerakan dan menjadi tolok ukur konsistensi (asholah) gerakan KAMMI. Hal ini sudah tercantum dalam GBHO KAMMI, oleh karenanya gerakan KAMMI memiliki tafsir sendiri mengenai gerakannya. Prinsip gerakan KAMMI sebagai berikut dengan penafsiran falsafah PANCASILA.

-          Kemenangan Islam adalah jiwa perjuangan KAMMI ~> Sila pertama: Ketuhanan yang maha Esa.
Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)
Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Hamka mengatakan sumber akidah kaum Muslimin ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Doktrin tentang keesaan Allah ini dalam Islam mempunyai latar belakang ajaran yang sangat positif, yang diberi nama ajaran tauhid. Tauhid ialah mempergunakan akal dan susunan berpikir sistematis untuk sampai kepada kesimpulan bahwa Allah itu adalah Esa. Secara populer ajaran “sifat dua puluh” diajarkan sampai ke kampung-kampung. Bahwa Allah itu adalah Esa, Esa pada zat-Nya, Esa pada sifat-Nya, Esa pada Af‘aal (perbuatan-Nya). Diakui bahwa Maha Pecipta Alam hanya Allah. Tiada Tuhan melainkan Allah dan tidak Dia bersekutu dengan yang lain. Dalam bahasa Arab disebut tauhid rububiyah.
Di dalam Al Qur’an di dalam Al Hadits dijelaskan lagi bahwa “tali” yang kita pegang ada dua. Pertama hablun minallah (tali dari Allah), kedua hablun minannaas (tali dengan manusia). Kalau dua tali tidak dipegang, atau terlepas salah satu, kehinaanlah yang akan menimpa diri, di mana pun kita berada (lihat surat Ali ‘Imran ayat 112). Oleh sebab itu maka peri kemanusiaan adalah konsekuensi yang wajar sesudah kita berpegang teguh dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk memupuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu, dan memelihara peri kemanusiaan, kita beribadah, kita sembahyang dengan berjamaah. Kita dirikan langgar, surau, mushala, dan masjid. Kita keluar ke tanah lapang sembahyang beramai-ramai pada dua hari raya dan kita naik haji ke Mekkah sekurangnya sekali seumur hidup.
Menurut Yudi Latif “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Demi kemaslahatan peran publik, harus dihindari politisasi agama yang mengarah pada kecenderungan triumphlaisme, pengucilan yang lain, dan hubungan eksternal yang berbahaya. Kontribusi terbaik agama terhadap kehidupan publik bukanlah dengan membiarkan politik terfragmentasi atas dasar idiologi keagamaan yang membuat kasih ketuhanan lenyap. Tetapi, baik partai maupun ormas-ormas keagamaan harus memungkinkan suara profetik keagamaan terdengar. Dengan berjejak pada nilai-nilai moralitas ketuhanan seperti dinyatakan dalam sila pertama Pancasila, segera terbentang misi  profetik yang diemban oleh agama sipil ini: mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, konsensus secara bijaksana, serta keadilan social yang mengatasi tirani perseorangan dan golongan. Fundametalisme keagamaan dan fundamentalisme sekuler harus dihindari karena keduanya membuat ketuhanan dan politik terus-menerus saling mengucilkan dan mengalahkan, yang membuat kehidupan spiritual tanpa kesalehan social dan menjadikan politik tanpa jiwa, (h 119-121).
Kalau dari perjuangan wajar meyakinkan tafsir sila pertama ini sebagai perjuangan Ummat Islam sesungguhnya karena mengapa ? karena perdebatan yang a lot dan panjang mengenai sila pertama ini seyogyanya merupakan sebagai kemenangan ummat Islam. Sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan.
Oleh karenanya KAMMI yang memulai Nilai perjuangan ke Islaman yang mendalam, sehingga kita berkeyaninan sila pertama ini merupakan kemenangan Ummat Islam Indonesia. Dengan berpikir mengedepankan ketauhidtan kita menyembah sang khaliq. Semua Ummat Islam ketika itu bersatu bahwa sila pertama itu adalah “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalau kita lihat bagaimana KAMMI merumuskan prinsip Gerakannya sebagai Nilai-nilai dasar dalam perjuangan merupakan aplikasi dari perjuangan Ummat Islam ketika memperjuangankan PANCASILA sila pertama. Sungguh toleransi yang begitu tinggi ketika itu Ummat Islam dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
-          Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI ~> Sila kedua: Kemanusian yang adil dan beradab.
Menurut Hamka, Untuk memupuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu, dan memelihara peri kemanusiaan, kita beribadah, kita sembahyang dengan berjamaah. Kita dirikan langgar, surau, mushala, dan masjid. Kita keluar ke tanah lapang sembahyang beramai-ramai pada dua hari raya dan kita naik haji ke Mekkah sekurangnya sekali seumur hidup. Ibadat dan berjamaah itu merapatkan silaturahmi kita, menyuburkan peri kemanusiaan.
Yudi Latif mengatakan “Kemanusian yang beradil dan beradab” itu Kemanusiaan Universal. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prisip peradaban manusia dan bangsa Indonesia. Pelbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertantangan dengan sila prikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparat Negara dalam kehidupan publik. Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjanagan hidup merupakan kenyataan yang sungguh bertantangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan, oleh karena itu harus dihapuskan dari perikehidupan bangsa, (h. 245).
Begitu juga dengan KAMMI sebagaimana kita berprinsip “Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI” maka kita terus berkeyakinan bahwa manusia itu diciptakan untuk menjadi yang terbaik dan lebih baik. Oleh karenanya KAMMI memiliki iktikad untuk terus berjuang dengan mengedepankan akhlaq dan adab dalam merumuskan perjuangan KAMMI.
-          Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI ~> Sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Hamka mengatakan Persatuan Indonesia sebagai sila ketiga adalah hasil musyawarat. Yaitu musyawarat pemuka-pemuka bangsa Indonesia mempersatukan suku-suku bangsa ini jadi satu negara yang bernama Republik Indonesia. Dalam permusyawaratan itu duduk pemuka-pemuka yang mewakili umat Islam Indonesia (Haji Agus Salim, H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, dan Haji Abdulkahar Muzakkir). Empat orang wakil kaum nasionalis yang lain (Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. Ahmad Subardjo). Hanya satu yang bukan mewakili Islam, yaitu A.A. Maramis (mewakili Kristen). Dipandang dari segi hukum Islam, fiqih dan ushul fiqihnya, permusyawaratan dan hasil permusyawaratan itu adalah SAH.
Sedangkan Yudi Latif mengatakan “Persatuan Indonesia” Persatuan Dalam Kebhinekaan. Tantangan demokrasi kedepan adalah bagaiamana perwujudan pengakuan politik dan politik pengakuan yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu republik.  Dalam konteks itu, di satu sisi, Negara harus menjamin kebebasan berekspresi pelbagai identitas, terutama golongan-golongan minoritas yang cenderung terpinggirkan. Dalam jangka pendek, model pluralis bias diadopsi demi memugkinkan golongan golongan minoritas-marginal untuk mengekspresikan identitas kulturalnya di ruang publik; ruang publik harus terbuka bagi partisipasi golongan minoritas dalam pendidikan, politik dan jabatan publik. Dalam jangka panjang, model kosmopolitan bisa didorong bersamaan dengan mencairnya sekat-sekat etno- kultural, (h 379).
Sila ketiga ini sesuai sekali dengan prinsip KAMMI “Persaudaraan adalah watak KAMMI” kita berkeyakinan bahwa prinsip gerakan ini untuk menjadikan Gerakan Mahasiswa sebagai perekat begitu juga dengan bangsa Indonesia KAMMI terus sebagai perekat kedaulatan NKRI. Perjuangan ini tak salah karena dahulu Ummat Islam dengan Gerakan Naionalis dan Sosialis selalu bersatu dalam merumuskan kebangsaan Indonesia, oleh karenanya kita sebagai Gerakan Mahasiswa terus mengedepankan persatuan dan persaudaraan sebagai anak bangsa.
-          Kepemimpinan ummat adalah strategi perjuangan KAMMI ~> Sila ke empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Hamka berpendapat Di dalam surat ke-42, Asy-Syuraa (Permusyawaratan) ayat 38 dijelaskan rentetan: (1) Melaksanakan kehendak Tuhan (beribadat, beramal, berusaha), (2) beramai-ramai mendirikan sembahyang, (3) dan urusan mereka dipermusyawaratkan, dan (4) rezeki yang diberikan Tuhan dinafkahkan dengan baik. Dalam rangkaian nomor 4 terdapat pokok utama hidup bersama, yaitu musyawarah. Dalam rangkaian nomor empat, menafkahkan rezeki yang diberikan Allah terdapat dasar keadilan sosial. Sebab yang diberi Allah rezeki kekayaan memberikan sebahagian harta bendanya untuk membantu yang miskin dan melarat.
Yudi  Latif mengungkapkan sila ke empat adalah Demokrasi Permusyarawatan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau pun kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha, melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang memuliaka daya-daya  rasionalitas deliberatif dan kerifan setiap warga Negara tanpa pandang bulu. Untuk itu, segala kekuatan dalam masyarakat, tanpa pandang bulu, harus diberi akses ke dalam proses pengambilan keputusan, (h 487).
Dengan pemikirin yang berasaskan Islam KAMMI, di proses dalam pengkaderannya menjadi tokoh dan agent-agent perubahan di setiap masing-masing bidang keilmuannya. Bukan, hanya sebagai politisi yang piawai beretorika Namun, melibihi itu dengan keilmuan yang dimiliki setiap para kader. KAMMI yang mengedepankan musyawarah dalam memilih kepemimpinan dengan mengedepankan urgensi syuro sebagai rujukan dalam memilih kepemimpinan puncak KAMMI. Sebagaimana juga KAMMI mengedepankan tata cara ahlul halli wal’aqdi (AHWA) dalam memilih kepemimpinan di KAMMI. Jelas KAMMI membuat suatu prinsip yaitu Kepemimpinan Ummat adalah strategi perjuangan KAMMI.
-          Perbaikan adalah tradisi perjuangan KAMMI ~> Sila ke lima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hamka menjelaskan dari segi sumber asli ajaran Islam, yaitu Al Qur’an, tersebut dalam surat ke-49, Al-Hujaraat ayat 13, bahwasanya adanya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu diakui. Gunanya ialah untuk kenal-mengenal di antara satu dengan yang lain. Agama bukanlah menghapuskan bangsa dan menghancurkan suku, sebagaimana dalam Republik Indonesia sendiri pun, sejak Proklamasi 17 Agustus kita bergabung jadi satu, bukanlah berarti misalnya bahwa “penulis Dari Hati ke Hati ini telah berhenti jadi orang Minangkabau.
Yudi Latif berpendapat sila kelima Keadilan Sosial. Perwujudan Negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara Negara, disertai dukungan rasa tanggungjawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga.  Tidak sepantasnya, pejabat Negara Cuma mau mendapat utung dengan membiarkan rakyat terus buntung, (h 607).

Sebagaimana gerakan KAMMI yang memiliki basis sosial yang mengakar dari setiap masing-masing KAMMI Daerah dan Wilayah. Perjuangan KAMMI juga terus memperbaiki masyarakat dari segi sosial secara sistem maupun Non-sistem yang bersifat bakti sosial melalui Bina Desa dan lain sebagainya. KAMMI juga dengan prinsipnya Perbaikan adalah tardisi perjuangan KAMMI dengan asas ideologi Islam KAMMI hadir memberikan ruang-ruang kosong dalam misi kemanusian dengan memperbaiki masyarakat melalui keimanan.

-          Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI ~> UUD 1945.
Di dalam Preambule UUD 1945 jelas bahwa tertera pada alenia ke tiga yang berbunyi sebagai berikut “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia;
1.      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.      Memajukan kesejahteraan umum.
3.      Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.      Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan.
5.      Kemerdekaan adalah Hak segala bangsa.
Kalau kita menelaah lebih dalam mengenai Preambule UUD 1945 khusunya di alenia ke tiga itu sangan luar biasa bagaimana ummat Islam sangat gigih melandasi kemerdekaan Indonsesia ini dari Allah SWT Rob Semesta Alam. KAMMI memandangya ini adalah karunia rahmat bagi ummat Islam yang mempunyai peranan sangat penting kita harus memberikan apresiasi kepada pejuang-pejuang Ummat Islam. Dari sejarahnya jelas bahwa dahulu ummat Islam mendominasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun banyaknya distorsi sejarah lah yang membuat Ummat Islam dan generasi muda Islam gak paham dengan perjuangan Islam.
Bagi KAMMI ini merupakan ijtihad yang ada di Prinsip gerakan KAMMI nafas yang dibangun yaitu “Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI” bagaimana KAMMI memandang Islam itu Universal menyeluruh melalui kenegaraan di dalam UUD 1945 berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dalam Islam pun jelas sudah diatur bagaimana Piagam Madinah yang dilakukan Rasulullah SAW itu merupakan perlindungan bagi UmmatNya ketika itu. Memajukan kesejahteraan umum, dalam Islam pun sudah ada diatur tentang kesejahteraan contohnya ketika sahabat Nabi Umar Abdul Aziz selama dua Tahun memimpin beliau tidak lagi menemukan orang yang kelaparan dan kemiskinan ini kan sudah aturannya yang dibuat oleh Islam. Mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana kehidupan Rasullullah SAW mendapat wahyu pertama disuruh membaca maka, Islam memandang bahwasannya Ilmu itu penting untuk kehidupan bermasyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Ummat itu sendiri. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, Islam memandang bahwasannya segala tindakan kekerasan yang bersifatnya peperangan dan pelaku HAM berat itu tidak ada diajarkan dalam Islam sebagaimana Rasulullah SAW menyatukan kaum anshar dan kaum muhajirin sehingga mereka bersatu karena Allah SWT begitu pun berpisah. Hal ini sudah ada dalam sejarah-sejarah siroh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kemerdekaan adalah Hak segala bangsa, bagi Islam juga menjelaskan bahwa setiap jengkal tanah yang ada adzannya mereka berhak mendapat perlindungan dan berhak merdeka jauh dari penindasan. Oleh karenanya Islam menyerukan kepada setiap bangsa-bangsa untuk merdeka dengan sendirinya, bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat serta para tabi’in memperjuangkan Islam bukan dengan kekeran tapi, kemerdekaan bagi rakyat yang ada di daerahnya untuk diperbolehkan memeluk agama dan kepercayaan masing-masing.
Oleh karena itu Islam akan menentukan nasib bangsa ini, menurut Lothrop Stoddard (1922) mengatakan "Seluruh dunia Islam saat ini di fermentasi yang mendalam. Dari Maroko dan Cina dan dari Turkestan ke Kongo, yang 200.000.000 pengikut Nabi Muhammad yang diaduk dengan ide-ide baru, impuls baru, aspirasi baru. Sebuah transformasi raksasa berlangsung yang hasilnya harus mempengaruhi semua umat manusia". Yudi Latif juga berpesan kepada kita “Indonesia ini sedang hamil tua maka, akan muncul bayi yang baru lahir”
Dari hal ini menyatakan Islam itu akan Berjaya kembali, bangkit kembali. Kita tidak ingin Negara ini kalau ibarat Pesawat sudah hampir terjun bebas dari udara maka, kita menyelamatkannya dengan perbaikan-perbaikan sistem dalam kenegaraan. Bangsa ini butuh Kepemimpinan bukan Ketokohan karena kalau ketokohan saja yang dimunculkan itupun banyak di kalangan Masyarakat. Kita sulit sekali beberapa tahun terakhir memiliki Pemimpin dengan jiwa Kepemimpinan bukan Ketokohan dan Pencitraan semata.

Referensi;
Jazuli  Juwaini, Otonomi Sepenuh Hati, (Jakarta; Darussalam Publishing, 2015).
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, (Bandung; PT Mizan Pustaka, 2010)
Panduan Kebijakan Nasional KAMMI, GBHO dan Filosofi KAMMI dalam Muktamar IX Di Kalimantan Selatan, 2015.
Yudi Latif, Negara Paripurna; Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama.
Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI, Sekretariat Jenderal MPR RI; 2011.
http://media-online.id/2014/10/gaya-kepemimpinan-presiden-indonesia.html
https://saripedia.wordpress.com/tag/tafsir-pancasila/
http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2011/05/16/3640/menjernihkan-tafsir-pancasila.html
http://www.kammikultural.org/2015/01/pancasila-paradigma-baru.html
http://www.komunitasnuun.org/2014/04/ikhtiar-hamka-menafsirkan-pancasila/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar