Pendahuluan
Tasawuf adalah kehidupan rohani dan lebih tegas lagi
bahwa bertasawuf itu adalah fitrah manusia. Melihat pengertian tasawuf dimulai
dari pembersihan diri yang bertujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi oleh
karena Allah SWT itu adalah Nur dan Maha Suci, maka hamba yang ingin
berhubungan dengan Allah harus berusaha melepaskan rohnya dari kungkungan
jasadnya. Untuk dapat melepaskan roh itu ditempuh jalan riadah (latihan) yang
memakan waktu cukup lama. Riadah ini juga bertujuan untuk mengasah roh itu
supaya tetap suci. Naluri manusia tetap ingin mencapai yang baik dan sempurna
dalam mengarungi kehidupannya. Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan itu
tidak dilalui dengan mempergunakan ilmu pengetahuan saja. Karena ilmu adalah
produk manusia dan hanya merupakan alat yang pendek. Manusia akan merasa
kehilangan dan kekosongan kalau hanya mengandalkan ilmu materi saja. Jalan
menuju hidayah dan kebahagiaan itu tidak lain hanya dengan iman yang kokoh,
perasaan hidup yang aman tenteram yang berdiri di atas rasa cinta.[1]
Sesungguhnya
tujuan akhir manusia adalah mengikat lingkaran rohaninya dengan Allah SWT
sebagai hubungan yang selamanya benar. Apabila orang hanya merasa bahwa
akalnyalah satu-satunya yang menjadi imam dan pemberi petunjuk, dia jauh dari
pembicaraan kegiatan kehidupan rohani, merasa bangga karena sudah merasa
memiliki kemewahan dunia, maka orang tersebut tidak memahami
perjalanan sahabat seperti khalifah ustman bin abdul aziz yang awalnya kaya
raya hidup enak tapi, setelah beliau diangkat menjadi khalifah beliau sangat
memakmurkan ummatnya pada saat itu sehingga saat beliau sudah tidak menjabat
menjadi khalifah hanya tersisa kekayaanya
dua baju dan dua celana. Justru karena itu dibutuhkan suatu kehidupan rohani
yang mendekatkan seseorang kepada Allah dan ini hanya bisa diatur dalam
kehidupan tasawuf.
Rumusan Masalah:
1. Apa
pengertian Tasawwuf secara bahasa dan istilah ?
2. Bagaimana
Dasar-dasar Tasawwuf dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits ?
3. Bagaimana
kronologi sejarah Tasawwuf dalam kontak kebudayaan Hindu, Persi, Yunani, dan Arab ?
Pengertian Tasawuf
A. Tasawuf secara lughawi (bahasa)
Secara
bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian
yang abadi. Tasawuf pada
awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam
perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (perbagai aliran
dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain,
atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah
pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.[2]
Ada beberapa sumber perihal
etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu
berasal dari Suf (صوف),
bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para
asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol.
Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal
ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu
ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari
"Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl
al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana adalah sekelompok
muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid
Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.[3]
B. Tasawuf secara istilah
Secara istilah banyak pendapat diantara para ahli. Ada yang mengatakan
Tasawuf itu adalah:
1)
Untuk membersihkan Hawas (Indra)
2)
Untuk membersihkan Qalbu (Hati)
3)
Untuk membersihkan Fuad (Nurani)
4)
Untuk membersihkan Nafs (Emosi)
5)
Untuk membersihkan Akal
6)
Untuk mendapatkan ilham
7)
Untuk membersihkan
Insting (Naluri)
Tetapi pada prinsipnya
tasawuf itu adalah usaha manusia untuk membersihkan diri agar dekat kepada
Allah SWT.[4]
Dasar-dasar Tasawuf dalam
Al-Quran dan Hadits
Al-Quran dan Hadits merupakan kerangka acuan pokok
yang selalu dipegangi oleh umat Islam. Sering didegar pertanyaan dalam kerangka
landasan naqli ini, “Apa dasar Al-Quran-Haditsnya sehingga anda berkata
demikian?” atau “Bagaimana Al-Quran dan Haditsnya?”. Pertanyaan-pertanyaan ini
sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau
menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik, termasuk
persoalan-persoalan tasawuf.[5]
Tasawuf pada awal
pembentukannya adalah manifestasi akhlak dan keagamaan. Moral keagamaan ini
banyak disinggung dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, sumber utama
tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al-Quran,
As-Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan sahabat. Amalan serta ucapan sahabat
tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan
begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Al-Quran dan As-Sunnah itu
sendiri.[6]
Para
pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan
sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari
kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari
nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan
berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang
bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap
ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan
makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan
Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan
dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an yang artinya :
“Barang siapa yang
menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan
barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di
akhirat”.[7]
Diantara
nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa
berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat 20 yang
Artinya : “Ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu”.
Ayat
ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang
menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya,
sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya
kesenangan dan gelapnya hawa nafsu mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang
indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa
nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak
dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi
penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari
ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah
kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka
yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.[8]
Sejarah
Tasawuf
dalam Kontak Kebudayaan Hindu, Persi, Yunani, dan Arab
Tasawuf yang kita temui dalam khazanah dunia Islam,
dari sumber-sumber perkembangannya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik
dikalangan muslim maupun dikalangan non-muslim. Mereka yang menganggap bahwa
tasawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain.[9]
Selanjutnya, ada beberapa
pandangan tentang asal-usul tasawuf dalam konteks kebudayaan-kebudayaan luar
Islam tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada
didunia Islam benar-benar terpengaruh oleh konteks kebudayaan tersebut atau
tidak.[10]
Ø Unsur-unsur Nasrani (Kristen)
Pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum
Nasrani pada masa Jahiliah maupun zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan
antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih
jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan
ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembah
yang
dan
berpakaian.
Von Kromyer berpendapat
bahwa tasawuf merupakan buah kenasranian pada zaman jahiliah. Sementara itu,
Goldziher berpendapat bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan pengaruh dari
agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua: Pertama, asketisme.
Menurutnya, sekalipun telah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, aliran ini,
lebih mengakar pada semangat Islam dan para Ahli Sunnah. Kedua, tasawuf dalam
arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat), pendakian
batin (hal), intuisi (wijdah), dan rasa (dzauq), yang terpengaruh oleh agama
Hindu disamping Neo-Platonisme.
Abu Bakar Aceh, sebagaimana
dikutip Abdul Qadir Zaelani, pernah menulis bahwa agama Yahudi dan agama
Kristen mempengaruhi pula cara berfikir dalam Islam.
Pokok-pokok ajaran tasawuf
yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah:
1.
Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir
sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius, “Berntunglah kamu orang-orang miskin
karena bagi kamulah kerajaan Allah… Beruntunglah kamu orang yang lapar karena
kamu akan kenyang.”
2.
Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan
dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatan dalam Injil, “Perhatikan
burung-burung dilangit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka
cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi kekutan kepadanya.
Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?”
3.
Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaanya pendeta dapat menghapuskan
dosa.
4.
Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah karena menikah dianggap dapat
mengalihkan diri dari Tuhan.
5.
Penyaksian, bahwa syufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan
dengan Allah. Injil pun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan
Tuhan.
Ø Unsur Hindu Buddha
Tasawuf dan
kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Pada paham
reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan kebadan lain), cara pelepasan dari
dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat syufiyah,
yaitu al-Fana memiliki persamaan dengan ajaran tentang nirwana dalam agama
Hindu. Menurut Harun Nasution, ajaran nirwana agama Budha mengajarkan umatnya
untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Paham fana’ yang
terdapat dalam sufisme hamper serupa dengan paham nirwana.[11]
Goldziher
mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama
dengan Ibrahim bin Adham, tokoh syufi yang muncul dalam sejarah umat Islam
sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya
dan hidup sebagai darwish.
Qamar Kailani dalam
ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan
tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu
ekstrim. Kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari
Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran
Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti
itu.
Ø Unsur Yunani
Kebudayaan
Yunani, seperti filsafat, telah masuk kedunia Islam pada akhir Daulah Umayyah
dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan
filsafat Yunani. Metode-metode
berfikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam
yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf
yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan
sebagai tasawuf yang bercorak filsafat.
Mungkin saja ajaran tasawuf
itu dimasuki oleh paham pemikiran Yunani. Misalnya, perkataan, “Apabila sudah
baik, seseorang hanya memerlukan sedikit makan. Dan apabila sudah baik, hati
manusia hanya memerlukan sedikit hikmat.” Ahli-ahli sejarah, seperti Syaufan
menerangkan bahwa banyak bagian dari cerita “Seribu Satu Malam” berasal dari Yahudi. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya
filsafat kedunia Islam melalui mazhab peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab
yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk kedalam bentuk
skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo-Platonisme lebih masuk
kepada dunia tasawuf.
Filsafat emanasinya plotinus
yang mengatakan bahwa wujud ini memancarkan dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa
menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal-mula
tasawuf di dunia Islam. Ketika ajaran Neo-Platonisme ini berhasil menyusup
kedalam tasawuf, hal yang pertama terjadi adalah penolakan terhadap
“keberbedaan” benda-benda (ghairiyat) dari Allah.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa cahaya kenabian mustahil di dapat oleh sufi yang terkenal
dengan keganjilan atau keekstriman konsep-konsepnya. Ia mengambil contoh ungkapan keganjilan yang dibawakan
oleh Al-Hallaj, “Aku Yang Maha besar”, atau ungkapan Abu Yazid Al-Busthami,
“Maha Suci Aku.” Karena mengaku “Mahasuci”, mereka merasa tidak perlu lagi
syari’at Islam. Ini pulalah yang dikatakan “nihilism syari’at. ”Neo-Platonisme, menurut mir Valiudin, adalah benda
yang bukan merupakan satu-satunya objek mulai di anggap sebagai satu-satunya
objek yang sebenarnya justru diabaikan.
Ungkapan Neo-Platonisme,
“Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan,
“siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.” Hal ini bias jadi
mengerah munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud. Tidak
dapat disangsikan lagi bahwa cara berfikir kelompok Neo-Shopi (Sufi
berketuhanan dan filosof), seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj, banyak
dipengaruhi oleh filsafat.
Ø Unsur Persia
Sebenarnya Arab dan Persia
memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran,
kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang
menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas
adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu
terkenal dengan ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah
zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dengan paham Hormuz
(Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.[12]
Sejak zaman klasik, bahkan
hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama.
Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang
penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam,
yang telah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).[13]
Kebanyakan ahli tasawuf
muslim yang berpikiran moderat mengatakan bahwa faktor pertama timbulnya
tasawuf hanyalah Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dari luar Islam.
Kesimpulannya bahwa
sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, mengingat Nabi
Muhammad dan para sahabatnyapun telah mempraktikkannya. Hal ini dapat dilihat
dari azas-azasnya yang banyak berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Akan tetapi,
tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran pemikiran
(misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh dari budaya filsafat
yunani, hindu, Persia, dan sebagainya.[14]
Ø Unsur Arab
Melacak
sejarah perkembangan tasawuf tidak dapat dimulai hanya ketika tasawuf mulai
dikaji sebagai sebuah ilmu. Tentunya,
perlu diteliti sejak zaman Rasulullah. Memang pada masa Rasulullah dan masa
sebelum datangnya agama Islam, istilah ‘tasawuf’ itu belum ada.
Selama
Rasulullah hidup hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu
diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan
praktik ibadah tasawuf. Sikap
zuhud misalnya, telah banyak ditanamkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Kalau dilihat sejarahnya, hidup zuhud ternyata memang telah ada sebelum
munculnya agama Islam ditanah Arab.
Oleh sebab itu, untuk meihat
sejarah tasawuf, perlu dilihat perkembangan peradaban Islam sejak zaman
Rasulullah. Sebab pada hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada dirinya
sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan menghindari segala kemewahan
sudah tumbuh sejak Islam datang, saat Rasulullah dan sahabat-sahabatnya hidup
dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadits dan atsar yang menerangkan tentang
kehidupan Rasul sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani.[15]
Penutup
Tasawuf adalah fenomena yang melekat dan tidak dapat
dipisahkan dari Islam. Menurut kalangan orientalis, tanpa tasawuf maka Islam
tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa sisi batin dalam ajaran Islam memiliki
peran yang sangat substansial sebagai aspek batiniyah dalam penyokong kegiatan
lahiriyah Islam.
Istilah tasawuf sendiri pada
dasarnya telah dipergunakan pada abad ke 2 hijriah. Sedangkan orisinalitas
ajaranya banyak diperdebatkan. Hal ini disebabkan oleh pertemuan umat Islam
dengan berbagai budaya sehingga unsur-unsur mistis dan paham-paham filsafat
berbaur kedalam ajarannya. Sehingga ajaran tasawuf yang awalnya sederhana,
terbagai menjadi berbagai pokok, seperti ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan
metaphisik.
Tasawuf sempat terseret
dalam arus perebutan kekuasaan sehingga nuansa perebutan politik sempat
mengancam keberadaan dan kelangsungan ajarannya. Begitu pula pertempuran antara
fiqih dan filsafat menjadikan tasawuf semakin tidak menentu. Tokoh yang
berupaya mendamaikan ketiganya adalah Al-Ghazali, walaupun paska beliau,
tasawuf yang bernuansa filsafat kembali marak dengan tokohnya, Ibnu Arabi. Akan
tetapi, masa gelap tasawuf masih berlangsung sehingga mengkhawatirkan kalangan
ulama lain sehingga ada upaya pembersihan tasawuf dari dunia Arab dengan
gerakan wahabinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar