Dari sabang sampai merauke
itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia yang di lintasi garis
khatulistiwa menyebabkan Negara ini tersubur dunia khususnya Negara di Asia
Tenggara. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6 derajat LU – 11 derajat 08’LS
dan dari 95 derajat’ BB – 144 derajat 45’ BT serta terletak diantara dua benua
yaitu benua Asia dan benua Australia/Osenia. Indonesia adalah Negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena itu Indonesia
disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Dari populasi penduduknya
sebesar 250 juta jiwa, Indonesia adalah Negara berpenduduk tebesar keempat di
dunia dan Negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara
resmi bukanlah Negara Islam. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil
di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah
1.922.570 km2 dan luas perairannya 3.257.483 km2. Pulau terpadat penduduknya
adalah Pulau Jawa dimana setengah populasi Indonesia bermukim. Indonesia
terdiri dari 5 Pulau besar, yaitu: Jawa
dengan luas 132.107 km2, Sumatera dengan luas 473.606 km2, Kalimantan dengan
luas 539.460 km2, Sulawesi dengan luas 189.216 km2, dan Papua dengan luas
421.981 km2.
Sungguh kaya Indonesia yang
besar ini, kita sebagai pewaris Negeri merasakan atau jangan-jangan tidak
merasakan kekayaan bangsa sendiri. Para Pahlawan yang telah berjuang di medan
Perang, kini kita sebagai Pemuda harus mengambil peran dalam setiap kebijakan
untuk bangsa Indonesia. Sudah sewajarnya Pemuda menjadi tonggak depan Bangsa
ini. Kalau pun Pemuda tidak ada yang mengambil tonggak estafet kepemimpinan ke
depannya maka, Indonesia tinggal Nama dan Kenangan sebagai bangsa yang Besar.
Saatnya kita memulai dengan membangun pinggiran perkotaan terus pinggiran desa
sehingga orang tua kita dan Para Pejuang yang mendahului kita tidak merasa
sedih melihat bangsanya hidup merdeka, tidak kelaparan, tidak ada lagi
kemiskinan, dan tidak ada lagi yang tak setara hidup semua sama di mata Manusia
dan di mata Masyarakat. Mereka akan bangga melihat begitu besar peran Pemuda
dalam Pembangunan bangsa.
Kita melihat usia Indonesia
sudah tidak semakin mudah lagi malah semakin tua, sudah usang berumur puluhan
tahun lamanya merdeka Indonesia. Sudah tercantum 17 Agustus 1945 ini menandakan
lahirnya Indonesia Negara Merdeka berdaulat di atas Negeri sendiri. Bangsa ini
sudah lama lahir hampir 70 tahun lamanya kita masih dengan keterbatasan di
Negara sendiri. Sadar atau tidak sadar bahwa setiap hidup kita selalu
mengantungkan diri kepada Negara lain mulai, dari ujung kepala yang kita pakai
sampai kaki semuanya itu terkadang bergantung dengan bangsa lain. Kapankah kita
merdeka dan tidak bergantung dengan Negara lain ? kalau pun ilmuwan, professor,
pengamat menjawabnya pasti panjang lebar sampai ke akar-akarnya namun, akhirnya
mentah pemerintah tidak butuh dengar kata-kata mereka. Pemerintah sudah ada
solusi yang lebih efektif ketimbang dari kalangan intelektual itu. Memang sulit
kita memikirkan bangsa yang besar ini, 1 hari saja tidak cukup untuk memikirkan
bangsa yang namanya INDONESIA.
Beberapa pemimpin yang sudah
memimpin bangsa Indonesia memiliki gaya wajah Pemimpin masing-masing tidak ada
yang sama mulai dari Presiden Soekarno sampai Presiden sekarang Jokowi. Setiap
Pemimpin juga memiliki kekurangan dan kelemahannya sendiri dalam memimpin
bangsa ini. Inilah gaya kepemimpinan presiden Indonesia dari masa
Soekarno-Susilo Bambang Yudhoyono:
1. Presiden Soekarno
Presiden
pertama Republik Indonesia ini adalah seorang orator ulung yang mampu
membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia. Beliau memiliki gaya
kepemimpinan yang populis, bertemperamen meledak-ledak, dan menyukai keindahan.
Gaya kepemimpinan beliau beroriaentasi pada moral dan etika ideology yang
mendasari Negara atau partai, sehingga konsisten dan fanatik. Sifat
kepemimpinan yang menonjol adalah penuh percaya diri, penuh daya tarik,
inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada
puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan
kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta melepas ketergantungan
dari Negara-negara Barat.
2. Presiden Soeharto
Pemimpin
kedua Indonesia ini merupakan pemimpin yang mempunyai visi dan misi, serta
target jangka pendek dan jangka panjang yang jelas. Mahir dalam strategi
details dan pandai dalam menggunakan kesempatan. Pembawaanya formal dan tidak
hangat dalam bergaul. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan
dari proaktif-ekstratif dengan adaptif-antisifatif, yaitu gaya kepemimpinan
yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang
berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan sadar akan
langkah penyesusaian.
3.
Presiden BJ. Habibie
Gaya
kepemimpinan Presiden ketiga ini adalah desikatif-fasilitatif, yang merupakan
sendi dan kepemimpinan demokratik. Terbukti dengan kebebasan pers yang dibuka
selebar-lebarnya sehingga melahirkan Demokratisasi yang luas. Gaya
komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau
memikirkan resikonya. Sehingga, jika dalam kondisi emosional, ia cenderung
mengambil keputusan dengan cepat.
4. Presiden Abdurrahman Wahid
Seorang
kiyai yang akrab disapa Gus Dur ini bersifat liberal, penuh ide, dan
berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinannya adalah responsive-akomodatif,
yang berusaha mengagresikan semua kepentingan beraneka ragam yang diharapkan
dapat dijadikan satu kesepakatan memiliki keabsahan.
5. Presiden Megawati
Presiden
perempuan pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berpenampilan tenang
dan tampak kurang acuh menghadapi persoalan. Namun, dalam hal tertentu memiliki
determinasi dalam memimpin. Gaya kepemimpinan yang anti kekerasan, dan cukup
demokratis. Beliau lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran.
6. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden
ke-enam ini Presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sosoknya
Demokratis, menghargai rakyat, tetapi selalu defensive terhadap kritik.
Pembawaan SBY yang karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga
berlatar belakang tentara, tampak agak formal. Beliau selalu santum dalam
berpenampilan dan berbusana. Sebagai pemimpin beliau mampu mengambil keputusan
kapan pun, dimana pun, dan dalam kondisi apa pun. Setelah mengetahui gaya
kepemimpinan enam presiden di atas, bagaimana dengan gaya kepemimpinan Presiden
ke-7 yaitu Joko Widodo, kita nantikan lima Tahun ke depan mulai dari sekarang.
PANCASILA Dalam
Dialetika Konstituente.
Kita hari ini harus tahu
bahwa PANCASILA itu bukanlah menjadi Ideologi bangsa Indonesia melainkan
sebagai Dasar Negara tidak lebih. Makanya, yang terdiri dari beraneka ragam dan
Islam sebagai Basis Mayoritas di Indonesia Namun, saat ini sudah terjajah dan
tertati-tatih. Ummat Islam harus merumuskan falsafah KeIslaman Indonesia karena
dasar Negara bangsa ini PANCASILA saja tidak bisa menjadi tolok ukur dalam
bernegara. Ulama dan Funding Father kita telah merumuskan PANCASILA ini
dengan begitu panjang melalui sidang-sidang yang berhari-hari dan berjam-jam.
Dalam pembicaraan tentang dasar Negara berlangsung dalam dua masa persidangan
pertama; dari 11 November hingga 7 Desember 1957 dan kedua; dari 22 April
hingga 2 Juni 1959. Pada masa persidangan pertama, tampil 101 orang pembicara
yang mengungkapkan aspirasi Politikmasing-masing,disertai berbagai argumentasi,
termasuk bantahan dan kritikan terhadap pandangan kelompok lain.
Secara garis besar, pandangan
para anggota Konstituante tentang dasar Negara dapat dikelompokkan dalam tiga
blok Ideologi. Pertama; Ideologi PANCASILA yang hanya mendapat dukungan dari
PNI yang besar bersama golongan-golongan Nasionalis yang lebih kecil, seperti
IPKI, PIR, GPPS, dan PRN. Tetapi, juga didukung oleh PKI dan golongan-golangan
yang beraliran komunis, seperti acoma dan Republik Persatuan, termasuk PSI dan
Permai yang beraliran Sosial-Demokratis.Selain itu, PANCASILA juga didukung
oleh Baperki yang terdiri dari minoritas keturunan China, serta Parta-partai
keagagamaan Non-Islam seperti Prakindo dan Partai Khatolik sehingga berjumlah
275 Orang. Kedua; ISLAM yang mendapat dukungan lima Partai Masyumi, NU, PSII,
Perti dan PPTI serta didukung oleh tiga kelompok dan perorangan lain yakni GPS,
AKUI, dan Idrus Effendi dengan Total Pendukung berjumlah 230 Orang. Ketiga;
SOSIAL EKONOMI hanya didukung oleh 9 Orang anggota majelis yang berasal dari
Partai Buruh dan Purba. Oleh karena sedikitnya dukungan bagi Ideologi ketiga
maka, wajar apabila beberapa peminat sejarah Politik Indonesia menyatakan bahwa
Perbincangan lantas terfokus hanya pada 2 rancangan dasar Negara yaitu Islam
dan Pancasila.
Karena tidak menemukan solusi
untuk kedua dasar Negara maka, Sidang Pleno Pada 6 Desember 1957 memutuskan
bahwa perdebatan tentang dasar Negara perlu ditangguhkan dan membentuk Panitia
Persiapan Konstitusi (PKK) yang ditugaskan rumusan yang akan memungkinkan
tercapainya kompromi. Namun melihatnya lambatnya menentukan dasar Negara di
Persidangan. Ternyata di luar perkembangan sidang adanya pertemuan AD yang
dimotori oleh Jenderal Abdul Haris Nasution menyatakan dalam suatu pertemuan
militer di Padang 13 Februari 1959, bahwa TNI AD sedang memelopori usaha untuk
kembali UUD Proklamasi 1945. Kabinet Djuanda memutuskan “akan melaksanakan
Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945” yang akan dilakukan
secara Konstitusional. Keputusan Kabinet itu sudah disampaikan kepada Presiden
Soekarno sehari kemudian dan Soekarno menerima keputusan itu. Sesuai dengan
keputusan untuk mengikuti prosedur konstitusional maka, pada tanggal 22 April
1959, Presiden Soekarno atas nama Pemerintah menyampaikan Pidato di hadapan
sidang Konstituente untuk mengajak kembali ke UUD 1945. Semua Fraksi di
Konstituente setuju dengan usulan Pemerintah itu, kecuali Masyumi dan
Fraksi-fraksi Islam lainnya. Sebagai tuntutan minimal, mereka meminta agar
dalam Pembukaan UUD 1945 itu ditambahkan dengan Piagam Jakarta dan pada pasal
29 Ayat 1 diberi amandemen sehingga berbunyi seperti yang termaktub dalam
Piagam Jakarta.
Oleh karena tidak ada
kesepakatan terhadap kedua usulan yaitu kembali ke UUD 1945 apa adanya seperti
ditetapkan pada 18 Agustus 1945 atau kembali ke UUD 1945 dengan amandemen
seperti yang diusulkan oleh Fraksi-fraksi Islam maka, jalan keluarnya dilakukan
Voting, ternyata kedua usulan itu tidak berhasil mendapat dukungan dua per tiga
suara yang hadir seperti yang diisyaratkan untuk menetapkan UUD baru, sidang
pun mentok dan lumpuh. Majelis menemui jalan buntu karena mayoritas anggotanya
terutama dari Fraksi-fraksi bukan Islam tidak mau lagi menghadiri Sidang-sidang
Kostituente. Bahkan, beberapa anggota menyarankan agar Kostituente dibubarkan.
Sebagai jalan keluar, akhirnya Ketua Majelis menyatakan Konstituente memasuki masa
reses. Ternyata, resesnya Konstituente itu adalah untuk selamanya, karena
Presiden Soekarno melalui Dekritnya menyatakan pembubaran Konstituente. Dekrit
yang dirumuskan di Istana Bogor pada 4 Juli 1959 itu, diumumkan secara resmi
oleh Presiden Soekarno pada Ahad, 5 Juli 1959 pukul 17:00 WIB di depan Istana
Merdeka Jakarta. Dekrit Presiden itu berisi sebagai berikut:
1. Pembubaran Majelis
Konstituente.
2. Berlakunya kembali UUD 1945,
dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3. Pembentukan MPRS dan DPSAS
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit ini bearti mengakhiri
hak hidup dan keberadaan Konstituente yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu
1955. Dekrit itu juga menutup kesempatan bagi Konstituente untuk menyelesaikan
tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya, yakni membuat UUD baru yang lebih baik
yang lebih baik dan lengkap bagi Negara Republik Indonesia. Padahal menurut Mr.
Wilopo yang menjabat Ketua Konstituente, “Majelis ini sudah dapat menyelesaikan
90% tugasnya.” Seandainya Majelis ini diberikan kesempatan beberapa bulan lagi
saja, tanpa ada intervensi dari luar niscaya Kostituente dapat menyelesaikan
tugas yang dipercayakan segenap rakyat Indonesia dengan tuntas dan baik,
termasuk tentang dasar Negara.
Peranan Natsir
Dalam Memperjuangkan Ideologi Negara.
Pada tanggal 12 November
1957, Natsir menyampaikan pidatonya dalam sidang pleno Konstituente dengan
judul Islam sebagai dasar Negara. Dalam pidatonya itu, Natsir menyatakan bahwa
“Indonesia hanya mempunyai dua alternatife pilihan sebagai dasar Negara; paham
Sekularisme (la diniyah) atau paham agama (diniy)”. Agak panjang Natsir
menjelaskan paham Sekularisme itu dan akibatnya apabila masuk dalam
ketatanegaraan. Uraian tentang Sekularisme itu ditutup oleh Natsir bahwa,
“PANCASILA bukan bersumber kepada satu wahyu ilahi”, oleh karena itu PANCASILA
adalah sekuler sebab dia merupakan produk manusia. Setelah itu, Natsir
menjelaskan bahwa Islam memelihara yang telah ada dan menumbuhkan yang belum
ada dalam PANCASILA. Dari kaidah-kaidah Islam yang banyak terkandung dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dia menerangkan tujuh butir diantaranya
mengenai:
1. Nilai-nilai tolong-menolong.
2. Nilai-nilai Demokrasi atau
Musyawarah.
3. Nilai-nilai cinta tanah air.
4. Nila-nilai cinta Kemerdekaan.
5. Nilai-nilai kesukaan membela
yang lemah.
6. Nilai-nilai mementingkan diri
sendiri serta kesedian hidup dan memberi hidup.
7. Nilai-nilai toleransi antara
para pemeluk agama-agama.
Semua nilai diatas, diuraikan secara mendalam
oleh Natsir, disertai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.
Akhirnya Natsir mengimbau kepada para pendukung PANCASILA,
“Sila-sila yang
saudara-saudara maksud terdapat dalam Islam. Bukan sebagai Pure concepts
yang steril, melainkan sebagai Nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang
riel dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah Negara, saudara-saudara
pembela PANCASILA sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung
PANCASILA atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu
state-philosophy yang hidup, berjiwa, berisi, tegas, dan mengandung kekuatan”.
Kepada para pendukung dasar Sosial-Ekonomi, Natsir pun berseru bahwa “dalam
Islam, saudara-saudara pasti akan bertemu dengan konsep Sosial Ekonomi yang
Progresif.
Selain oleh Natsir, usulan
untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara juga dikemukakan dalam
sidang-sidang Konstituente oleh KH. Masyur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. M.Syukri,
dan KH. Ahmad Zaini dari NU Zainal Abidin Ahmad, M. Isa Anshary, Hamka, Mr.
Kasman Singodimedjo, Oesman Raliby, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, dan M. Sardjan
dari Masyumi O.N Pakaya dari PSII, M. Soekarna Sendjaja dari Gerpis, dan
lain-lain. Dari sini tampak bahwa “para politisi Islam dari berbagai partai
dapat bersatu-padu dalam mendukung dan mengusulkan Islam sebagai dasar Negara”.
Kekompakan kelompok Islam di Konstituente juga dikondisikan oleh
serangan-serangan gencar dari kalangan yang tidak menghendaki Islam sebagai
dasar Negara. Dalam kondisi ajaran agama mendapat serangan, kelompok Islam
bersatu.
Dari beberapa politisi Islam
yang menyampaikan pendapat dan pemikirannya, Munawir Sjdzali menyimpulkan bahwa
“Masyumi lebih jelas pendapat dan argumentasinya dibandingkan dengan
Partai-partai Islam lain”. Hal itu terlihat dari banyaknya tokoh Masyumi yang
berbicara di hadapan sidang Konstituente dengan pandangan-pandangan yang
argumentatife dan adakalanya menyulitkan para pendukung PANCASILA untuk
menjawab atau menangkisnya. Kesimpulan Sjadzali itu diakui oleh Kacung Marijan,
“NU sendiri berupaya memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, meski tidak
sekuat kalangan pembaru (Masyumi)”. Yang penting disini adalah bersatunya ummat
Islam, walaupun hanya dalam masa yang singkat dan setelah Konstituente
dibubarkan, kekuatan politik Islam kembali terpecah.
Peranan Natsir dalam
perdebatan di Konstituente diakui oleh banyak penulis dan pengamat politik
Indoensia, tidak hanya sebagai pemimpin Masyumi, tetapi sekaligus pemimpin
kelompok Islam di majelis itu. Lebih dai semua itu, Ahmad Suhelmi bahkan
menyebut, “Perjuangan Ideologis Masyumi untuk menegakkan Negara yang didasarkan
pada syariat Islam, tidak bisa dipisahkan dari figur Natsir, karena dia adalah
ideolog terkemuka partai itu”. Penilaian itu didukung oleh George McTurnan
Kahin, Profesor pada Universitas Cornell AS yang menyatakan,
“Mengenai peranan Natsir
dalam pekerjaan Konstituente, tampaknya bagi saya dia telah menyelesaikan lebih
daripada apa yang ada pada umumnya telah diakui. Ditengah-tengah adanya satu
kecurigaan keras pada mulanya oleh Partai-partai non-Islam maka, Natsir,
Prawoto Mangkusasmito, Oesman Relaby, dan pemimpin-pemimpin progresif Masyumi
lainnya pada akhirnya telah bergerak jauh dalam menyesuaikan kedudukan partai
mereka dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam perwakilan politik di
Konstituente”.
Akan tetapi, keberanian
Natsir dan temen-temennya dalam menyalurkan aspirasinya mengajukan Islam
sebagai dasar Negara, banyak disalah pahami oleh orang-orang yang tidak senang
kepada Islam, termasuk Pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Muncul
tuduhan bahwa Natsir hendak mendirikan Negara Islam Indonesia. Ada pula yang
menyatakan bahwa Natsir tidak mengakui PANCASILA sebagai dasar Negara dan
hendak menggantinya dengan Islam. Tuduhan-tuduhan seperti it uterus
terlontarkan meskipun dia telah wafat. Misalnya, oleh R. Willam Liddle, “Ide
Negara Islam itu tetap hidup, meskipun diungkapkan secara hati-hati”.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan
terhadap Natsir itu tidak akan keluar jika dipahami konteks sejarahnya. Memang
benar bahwa Natsir pernah berusaha menjadikan Islam sebagai dasar Negara untuk
menggantikan PANCASILA yang saat itu sedang berlaku, sebagaimana diuraikan di
muka. Namun, mesti dipahami bahwa perjuangan untuk menjadikan Islam atau
PANCASILA, bahkan Sosialisme dan Komunisme sekalipun, adalah sesuatu yang legal
dan sah dilakukan pada saat itu. Bahkan, lembaga untuk memperjuangkan Ide-ide
itu pun dibentuk secara resmi melalui Pemilu 1955, yaitu Majelis Konstituente.
Selain itu, harus pula diingat bahwa yang memperjuangkan Islam sebagai dasar
Negara, bukan hanya Natsir dan Masyumi (dengan 112 orang anggota), melainkan
juga politisi dari NU (91 orang), PSII (16 orang), Perti (7 orang), dan
beberapa partai kecil lainnya sehingga jumlah pendukung Islam sebagai dasar
Negara 230 orang. Lantas mengapa mereka yang juga tidak kalah vokalnya dalam
menyuarakan Islam sebagai dasar Negara, sama sekali tidak disoroti dan
dipermasalahkan.
Adalah kenyataan sejarah
bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Konstituente terbentuk, Natsir dan
para politisi Islam tidak pernah membicarakan soal Negara Islam atau ingin
menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Kalau pun dia mau, tentu Natsir telah
melakukannya saat dia menjadi Perdana Menteri pada 1950-1951. Bahkan selaku PM,
Natsir tidak segan-segan mengambil tegas terhadap kelompok Darul Islam
(DI/TII), yang dipimpin S.M. Kartosuwiryo yang ingin mendirikan Negara Islam
Indonesia secarainkonstitusional dam melakukan gangguan keamanan di Jawa Barat.
Barulah takkala pada sidang-sidang Konstituente diajukan pilihan antara Islam
dan PANCASILA sebagai dasar Negara, Natsir harus memilih Islam. Hal itu sebagai
konsekuensi logis dari keyakinannya sebagai tokoh Islam dan kedudukannya
sebagai pemimpin Partai Islam Masyumi yang mewakili ummat Islam Indonesia,
sehingga dia harus bertanggung jawab terhadap ummat dan semaksimal mungkin
memperjuangkan amanat ummat yang telah memilih dan mempercayainya.
Walaupun pada akhirnya
Konstituente dibubarkan melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan UUD 1945
dengan PANCASILA sebagai dasar Negara dinyatakan berlaku kembali, tidaklah
beralasan untuk terus-menerus menuduh Natsir dan para politisi Islam masa itu
sebagai kelompok yang anti-PANCASILA. Harus juga diingat bahwa “Dekrit itu
telah diterima secara aklamasi oleh DPR hasil pemilu 1955, termasuk wakil-wakil
golongan Islam yang merupakan 45% dari seluruh anggota DPR”. Meskipun tidak
menerima cara dekrit itu dikeluarkan, karena ia adalah bentuk dari suatu
tindakan Otoriter dan Diktator, bukan hasil Musyawarah, Masyumi menyetujui
Dekrit itu. Hal itu ditegaskan oleh Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua Masyumi
saat itu, dalam notanya kepada Presiden Soekarno, tertanggal 28 Juli 1959, yang
berbunyi:
“Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan
Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada UUD yang berlaku dan oleh karenanya, merasa
berhak pula untuk meminta, dimana perlu untuk menuntut, kepada siapa pun, juga
sampai Pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada UUD sebagai landasan
bersama hidup bernegara”.
Namun, kenyataan sejarah pula yang membuktikan bahwa
Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya banyak menyalahi dan melanggar UUD 1945
yang dia berlakukan sendiri. Sebaliknya, Natsir bersama tokoh-tokoh Masyumi
yang berusaha memperingatkan Soekarno untuk bertindak sesuai dengan UUD 1945,
malah diteror dan diintimidasi sehingga tidak lagi merasa aman untuk tinggal di
Ibu Kota Jakarta. Oleh sebab itu, ketika Konstituente dibubarkan, Natsir sudah
tidak lagi berada di tengah-tengah para anggota majelis yang terhormat itu.
Sejak akhir 1957, Natsir telah hijrah ke Sumatera bersama keluarga dan beberapa
tokoh Masyumi lainnya.
Tafsir Prinsip
Gerakan KAMMI dalam Falsafah PANCASILA.
Secara teori dan praktik, ilmiyah atau
falsafah, Pancasila yang berarti kelima dasar itu tidaklah merugikan Islam.
Sebaliknya, kalau umat Islam memegang teguh dan mengamalkan agamanya, tidaklah
Pancasila akan rugi. Malahan ada banyak orang di Indonesia ini, termasuk
penulis ini sendiri, mempunyai keyakinan hidup yang tidak dapat diubah, demi
kebebasan berpikir, dan demi kemuliaan logika. Bahwa dengan teguh kokohnya kaum
Muslimin menjalankan sepanjang ajaran agama Islam, Pancasila akan terjamin
keutuhannya. Bahkan lebih tegas lagi, “Keteguhan Pancasila akan terjamin bila
umat Islam yang 95% ini yakin akan agamanya. Dan kalau umat Islam telah lalai
dari agamanya, terutama sudah goyang ajaran tauhidnya, Pancasila terancam
runtuh.”
Syaikh
Muhammad Abduh pernah mengatakan: “La’anallahus siasata” (Dikutuk Allah
politik). Dan berkata beliau pula: “Jika politik telah masuk dari pintu muka,
hakikat kebenaran akan terusir keluar dari pintu belakang.” Begitu terangnya
jalan yang kita tempuh, namun masih banyak orang yang tidak suka kalau umat
Islam kelihatan terpampang dalam zaman pembangunan. Dilemparkan kata-kata bahwa
umat Islam tidak menyukai Pancasila.
Hingga
kini, setelah 15 tahun lebih era reformasi berjalan, banyak pihak masih
terus mencari-cari rumusan baru tentang model penafsiran Pancasila. Bahkan,
tidak sedikit yang mulai khawatir akan masa depan Pancasila. Namun,
sebagian masih terus menggebu-gebu mengangkat dan menjadikan Pancasila
sebagai ”alat pemukul” terhadap aspirasi umat Islam di Indonesia. Setiap
ada peraturan atau perundang-undangan yang diperuntukkan bagi orang Islam
di Indonesia, langsung dituduh dan dicap sebagai ”anti-Pancasila” dan
”anti-NKRI”.
Prof. Kasman Singodimedjo,
tokoh Islam yang juga anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
memberikan pandangan lugas: “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila,
maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan
pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena
Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam”.
Pandangan para tokoh Islam, bahwa Pancasila
khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep Tauhid, tetap tidak berubah.
Dalam satu Makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang
dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila,
terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq,
menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha
Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut
rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata
“Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan
“Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah
Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat
menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Berbeda dengan para tokoh Islam, para tokoh
Kristen di Indonesia selama beberapa dekade telah memberikan tafsir
Pancasila yang netral agama. Terkait dengan tema Pancasila dan Agama,
tokoh Katolik Prof. Dr. N. Drijarkoro S.J. dalam Seminar Pancasila I di
Yogyakarta pada tanggal 16-20 Februari 1959, membuat sejumlah kesimpulan,
bahwa: “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama, tetapi
bukan negara profan, sebab dengan Pancasila, kita berdiri di
tengah-tengah. Tugas negara yang berdasarkan Pancasila hanyalah memberi
kondisi yang sebaik-baiknya pada hidup dan perkembangan religi. Dengan
demikian oleh negara dapat dihindari bahaya-bahaya yang dapat timbul bila
agama dan negara dijadikan satu.”
Selanjutnya dikatakan oleh Drijarkoro S.J:
“Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara yang sekular, karena
mengakui dan memberi tempat pada religi. Tetapi hal itu tidak berarti
bahwa negara itu adalah negara agama, sebab negara tidak mendasarkan diri
atas sesuatu agama tertentu. Negara yang berdasarkan Pancasila adalah
negara yang “potentieel religieus” artinya memberikan kondisi yang
sebaik-baiknya bagi kehidupan dan perkembangan religi. Jadi negara Pancasila
itu tidak bersikap indifferent terhadap religi.
Perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dipandang menurut keyakinan bangsa
kita yakni sebagai monotheisme.”
Sedangkan didalam KAMMI
sendiri ada tafsir prinsip gerakan KAMMI yang mengakar yaitu Prinsip Gerakan KAMMI adalah nilai-nilai dasar
gerakan yang menjiwai pergerakan KAMMI sebagai suatu amal jama’i. Prinsip
Gerakan adalah ciri khas pergerakan KAMMI yang secara unik membedakannya dengan
gerakan lain. Prinsip Gerakan merupakan tradisi yang menjadi tetapan (tsawabit)
gerakan dan menjadi tolok ukur konsistensi (asholah) gerakan KAMMI. Hal
ini sudah tercantum dalam GBHO KAMMI, oleh karenanya gerakan KAMMI memiliki
tafsir sendiri mengenai gerakannya. Prinsip gerakan KAMMI sebagai berikut
dengan penafsiran falsafah PANCASILA.
-
Kemenangan Islam adalah jiwa
perjuangan KAMMI ~>
Sila pertama: Ketuhanan yang maha Esa.
Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan
segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut
historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan
tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)
Ki Bagus
Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan
“tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang
diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri,
Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Hamka
mengatakan sumber akidah kaum Muslimin ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Doktrin
tentang keesaan Allah ini dalam Islam mempunyai latar belakang ajaran yang
sangat positif, yang diberi nama ajaran tauhid. Tauhid ialah
mempergunakan akal dan susunan berpikir sistematis untuk sampai kepada
kesimpulan bahwa Allah itu adalah Esa. Secara populer ajaran “sifat dua puluh”
diajarkan sampai ke kampung-kampung. Bahwa Allah itu adalah Esa, Esa pada
zat-Nya, Esa pada sifat-Nya, Esa pada Af‘aal (perbuatan-Nya). Diakui bahwa Maha
Pecipta Alam hanya Allah. Tiada Tuhan melainkan Allah dan tidak Dia bersekutu
dengan yang lain. Dalam bahasa Arab disebut tauhid rububiyah.
Di
dalam Al Qur’an di dalam Al Hadits dijelaskan lagi bahwa “tali” yang kita
pegang ada dua. Pertama hablun minallah (tali dari Allah), kedua hablun
minannaas (tali dengan manusia). Kalau dua tali tidak dipegang, atau
terlepas salah satu, kehinaanlah yang akan menimpa diri, di mana pun kita
berada (lihat surat Ali ‘Imran ayat 112). Oleh sebab itu maka peri kemanusiaan
adalah konsekuensi yang wajar sesudah kita berpegang teguh dengan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk
memupuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu, dan memelihara peri
kemanusiaan, kita beribadah, kita sembahyang dengan berjamaah. Kita dirikan
langgar, surau, mushala, dan masjid. Kita keluar ke tanah lapang sembahyang
beramai-ramai pada dua hari raya dan kita naik haji ke Mekkah sekurangnya
sekali seumur hidup.
Menurut
Yudi Latif “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Demi
kemaslahatan peran publik, harus dihindari politisasi agama yang mengarah pada
kecenderungan triumphlaisme, pengucilan yang lain, dan hubungan eksternal yang
berbahaya. Kontribusi terbaik agama terhadap kehidupan publik bukanlah dengan
membiarkan politik terfragmentasi atas dasar idiologi keagamaan yang membuat
kasih ketuhanan lenyap. Tetapi, baik partai maupun ormas-ormas keagamaan harus
memungkinkan suara profetik keagamaan terdengar. Dengan berjejak pada
nilai-nilai moralitas ketuhanan seperti dinyatakan dalam sila pertama
Pancasila, segera terbentang misi profetik yang diemban oleh agama sipil
ini: mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, konsensus secara
bijaksana, serta keadilan social yang mengatasi tirani perseorangan dan
golongan. Fundametalisme keagamaan dan fundamentalisme sekuler harus dihindari
karena keduanya membuat ketuhanan dan politik terus-menerus saling mengucilkan
dan mengalahkan, yang membuat kehidupan spiritual tanpa kesalehan social dan
menjadikan politik tanpa jiwa, (h 119-121).
Kalau dari perjuangan wajar
meyakinkan tafsir sila pertama ini sebagai perjuangan Ummat Islam sesungguhnya
karena mengapa ? karena perdebatan yang a lot dan panjang mengenai sila pertama
ini seyogyanya merupakan sebagai kemenangan ummat Islam. Sebagaimana dituturkan Kasman
Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab,
rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus
dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap
rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya”
dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan
lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara.
Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya
tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan
tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa,
bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1
Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal
dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan.
Oleh karenanya KAMMI yang memulai
Nilai perjuangan ke Islaman yang mendalam, sehingga kita berkeyaninan sila
pertama ini merupakan kemenangan Ummat Islam Indonesia. Dengan berpikir
mengedepankan ketauhidtan kita menyembah sang khaliq. Semua Ummat Islam ketika
itu bersatu bahwa sila pertama itu adalah “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalau kita lihat bagaimana KAMMI merumuskan
prinsip Gerakannya sebagai Nilai-nilai dasar dalam perjuangan merupakan
aplikasi dari perjuangan Ummat Islam ketika memperjuangankan PANCASILA sila
pertama. Sungguh toleransi yang begitu tinggi ketika itu Ummat Islam dirubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
-
Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI ~> Sila
kedua: Kemanusian yang adil dan beradab.
Menurut
Hamka, Untuk memupuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu, dan memelihara
peri kemanusiaan, kita beribadah, kita sembahyang dengan berjamaah. Kita
dirikan langgar, surau, mushala, dan masjid. Kita keluar ke tanah lapang
sembahyang beramai-ramai pada dua hari raya dan kita naik haji ke Mekkah
sekurangnya sekali seumur hidup. Ibadat dan berjamaah itu merapatkan
silaturahmi kita, menyuburkan peri kemanusiaan.
Yudi
Latif mengatakan “Kemanusian yang beradil dan beradab” itu Kemanusiaan
Universal. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prisip peradaban manusia dan
bangsa Indonesia. Pelbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertantangan
dengan sila prikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku
aparat Negara dalam kehidupan publik. Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan
kesenjanagan hidup merupakan kenyataan yang sungguh bertantangan dengan rasa
keadilan dan kemanusiaan, oleh karena itu harus dihapuskan dari perikehidupan
bangsa, (h. 245).
Begitu
juga dengan KAMMI sebagaimana kita berprinsip “Kebathilan adalah musuh abadi
KAMMI” maka kita terus berkeyakinan bahwa manusia itu diciptakan untuk menjadi
yang terbaik dan lebih baik. Oleh karenanya KAMMI memiliki iktikad untuk terus
berjuang dengan mengedepankan akhlaq dan adab dalam merumuskan perjuangan
KAMMI.
-
Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI ~>
Sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Hamka
mengatakan Persatuan Indonesia sebagai sila ketiga adalah hasil musyawarat.
Yaitu musyawarat pemuka-pemuka bangsa Indonesia mempersatukan suku-suku bangsa
ini jadi satu negara yang bernama Republik Indonesia. Dalam permusyawaratan itu
duduk pemuka-pemuka yang mewakili umat Islam Indonesia (Haji Agus Salim, H. A.
Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, dan Haji Abdulkahar Muzakkir). Empat orang
wakil kaum nasionalis yang lain (Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad
Yamin, dan Mr. Ahmad Subardjo). Hanya satu yang bukan mewakili Islam, yaitu
A.A. Maramis (mewakili Kristen). Dipandang dari segi hukum Islam, fiqih dan
ushul fiqihnya, permusyawaratan dan hasil permusyawaratan itu adalah SAH.
Sedangkan
Yudi Latif mengatakan “Persatuan Indonesia” Persatuan Dalam Kebhinekaan.
Tantangan demokrasi kedepan adalah bagaiamana perwujudan pengakuan politik dan
politik pengakuan yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka
kelompok budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif
dalam suatu republik. Dalam konteks itu, di satu sisi, Negara harus
menjamin kebebasan berekspresi pelbagai identitas, terutama golongan-golongan
minoritas yang cenderung terpinggirkan. Dalam jangka pendek, model pluralis
bias diadopsi demi memugkinkan golongan golongan minoritas-marginal untuk
mengekspresikan identitas kulturalnya di ruang publik; ruang publik harus
terbuka bagi partisipasi golongan minoritas dalam pendidikan, politik dan
jabatan publik. Dalam jangka panjang, model kosmopolitan bisa didorong
bersamaan dengan mencairnya sekat-sekat etno- kultural, (h 379).
Sila
ketiga ini sesuai sekali dengan prinsip KAMMI “Persaudaraan adalah watak KAMMI”
kita berkeyakinan bahwa prinsip gerakan ini untuk menjadikan Gerakan Mahasiswa
sebagai perekat begitu juga dengan bangsa Indonesia KAMMI terus sebagai perekat
kedaulatan NKRI. Perjuangan ini tak salah karena dahulu Ummat Islam dengan
Gerakan Naionalis dan Sosialis selalu bersatu dalam merumuskan kebangsaan
Indonesia, oleh karenanya kita sebagai Gerakan Mahasiswa terus mengedepankan
persatuan dan persaudaraan sebagai anak bangsa.
-
Kepemimpinan ummat adalah strategi perjuangan
KAMMI ~> Sila ke empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Hamka
berpendapat Di dalam surat ke-42, Asy-Syuraa (Permusyawaratan) ayat 38
dijelaskan rentetan: (1) Melaksanakan kehendak Tuhan (beribadat, beramal,
berusaha), (2) beramai-ramai mendirikan sembahyang, (3) dan urusan mereka dipermusyawaratkan,
dan (4) rezeki yang diberikan Tuhan dinafkahkan dengan baik. Dalam rangkaian
nomor 4 terdapat pokok utama hidup bersama, yaitu musyawarah. Dalam rangkaian
nomor empat, menafkahkan rezeki yang diberikan Allah terdapat dasar keadilan
sosial. Sebab yang diberi Allah rezeki kekayaan memberikan sebahagian harta
bendanya untuk membantu yang miskin dan melarat.
Yudi Latif mengungkapkan sila ke empat adalah Demokrasi
Permusyarawatan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh
golongan mayoritas atau pun kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha,
melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang memuliaka daya-daya
rasionalitas deliberatif dan kerifan setiap warga Negara tanpa pandang
bulu. Untuk itu, segala kekuatan dalam masyarakat, tanpa pandang bulu, harus
diberi akses ke dalam proses pengambilan keputusan, (h 487).
Dengan pemikirin yang berasaskan Islam KAMMI,
di proses dalam pengkaderannya menjadi tokoh dan agent-agent perubahan di
setiap masing-masing bidang keilmuannya. Bukan, hanya sebagai politisi yang
piawai beretorika Namun, melibihi itu dengan keilmuan yang dimiliki setiap para
kader. KAMMI yang mengedepankan musyawarah dalam memilih kepemimpinan dengan
mengedepankan urgensi syuro sebagai rujukan dalam memilih kepemimpinan
puncak KAMMI. Sebagaimana juga KAMMI mengedepankan tata cara ahlul halli wal’aqdi (AHWA) dalam memilih kepemimpinan di
KAMMI. Jelas KAMMI membuat suatu prinsip yaitu Kepemimpinan Ummat adalah
strategi perjuangan KAMMI.
-
Perbaikan adalah tradisi perjuangan KAMMI ~>
Sila ke lima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hamka menjelaskan dari segi sumber asli ajaran
Islam, yaitu Al Qur’an, tersebut dalam surat ke-49, Al-Hujaraat ayat 13,
bahwasanya adanya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu diakui. Gunanya ialah
untuk kenal-mengenal di antara satu dengan yang lain. Agama bukanlah
menghapuskan bangsa dan menghancurkan suku, sebagaimana dalam Republik
Indonesia sendiri pun, sejak Proklamasi 17 Agustus kita bergabung jadi satu,
bukanlah berarti misalnya bahwa “penulis Dari Hati ke Hati ini telah berhenti
jadi orang Minangkabau.
Yudi
Latif berpendapat sila kelima Keadilan Sosial. Perwujudan Negara kesejahteraan
sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara Negara, disertai
dukungan rasa tanggungjawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap
warga. Tidak sepantasnya, pejabat Negara Cuma mau mendapat utung dengan
membiarkan rakyat terus buntung, (h 607).
Sebagaimana
gerakan KAMMI yang memiliki basis sosial yang mengakar dari setiap
masing-masing KAMMI Daerah dan Wilayah. Perjuangan KAMMI juga terus memperbaiki
masyarakat dari segi sosial secara sistem maupun Non-sistem yang bersifat bakti
sosial melalui Bina Desa dan lain sebagainya. KAMMI juga dengan prinsipnya
Perbaikan adalah tardisi perjuangan KAMMI dengan asas ideologi Islam KAMMI
hadir memberikan ruang-ruang kosong dalam misi kemanusian dengan memperbaiki
masyarakat melalui keimanan.
-
Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI
~> UUD 1945.
Di dalam Preambule UUD
1945 jelas bahwa tertera pada alenia ke tiga yang berbunyi sebagai berikut
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia;
1. Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan
bangsa.
4. Melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan.
5. Kemerdekaan adalah Hak segala
bangsa.
Kalau kita menelaah lebih
dalam mengenai Preambule UUD 1945 khusunya di alenia ke tiga itu sangan
luar biasa bagaimana ummat Islam sangat gigih melandasi kemerdekaan Indonsesia
ini dari Allah SWT Rob Semesta Alam. KAMMI memandangya ini adalah karunia
rahmat bagi ummat Islam yang mempunyai peranan sangat penting kita harus
memberikan apresiasi kepada pejuang-pejuang Ummat Islam. Dari sejarahnya jelas
bahwa dahulu ummat Islam mendominasi dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, namun banyaknya distorsi sejarah lah yang membuat Ummat Islam dan
generasi muda Islam gak paham dengan perjuangan Islam.
Bagi KAMMI ini merupakan
ijtihad yang ada di Prinsip gerakan KAMMI nafas yang dibangun yaitu “Solusi
Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI” bagaimana KAMMI memandang Islam itu Universal
menyeluruh melalui kenegaraan di dalam UUD 1945 berbunyi melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dalam Islam pun jelas
sudah diatur bagaimana Piagam Madinah yang dilakukan Rasulullah SAW itu
merupakan perlindungan bagi UmmatNya ketika itu. Memajukan kesejahteraan umum,
dalam Islam pun sudah ada diatur tentang kesejahteraan contohnya ketika sahabat
Nabi Umar Abdul Aziz selama dua Tahun memimpin beliau tidak lagi menemukan
orang yang kelaparan dan kemiskinan ini kan sudah aturannya yang dibuat oleh
Islam. Mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana kehidupan Rasullullah SAW
mendapat wahyu pertama disuruh membaca maka, Islam memandang bahwasannya Ilmu
itu penting untuk kehidupan bermasyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
Ummat itu sendiri. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
Islam memandang bahwasannya segala tindakan kekerasan yang bersifatnya
peperangan dan pelaku HAM berat itu tidak ada diajarkan dalam Islam sebagaimana
Rasulullah SAW menyatukan kaum anshar dan kaum muhajirin sehingga mereka
bersatu karena Allah SWT begitu pun berpisah. Hal ini sudah ada dalam
sejarah-sejarah siroh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kemerdekaan adalah
Hak segala bangsa, bagi Islam juga menjelaskan bahwa setiap jengkal tanah yang
ada adzannya mereka berhak mendapat perlindungan dan berhak merdeka jauh dari
penindasan. Oleh karenanya Islam menyerukan kepada setiap bangsa-bangsa untuk
merdeka dengan sendirinya, bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat serta para
tabi’in memperjuangkan Islam bukan dengan kekeran tapi, kemerdekaan bagi rakyat
yang ada di daerahnya untuk diperbolehkan memeluk agama dan kepercayaan
masing-masing.
Oleh karena itu Islam akan
menentukan nasib bangsa ini, menurut Lothrop Stoddard (1922) mengatakan "Seluruh
dunia Islam saat ini di fermentasi yang mendalam. Dari Maroko dan Cina dan dari
Turkestan ke Kongo, yang 200.000.000 pengikut Nabi Muhammad yang diaduk dengan
ide-ide baru, impuls baru, aspirasi baru. Sebuah transformasi raksasa
berlangsung yang hasilnya harus mempengaruhi semua umat manusia". Yudi
Latif juga berpesan kepada kita “Indonesia ini sedang hamil tua maka, akan
muncul bayi yang baru lahir”
Dari hal ini menyatakan Islam
itu akan Berjaya kembali, bangkit kembali. Kita tidak ingin Negara ini kalau
ibarat Pesawat sudah hampir terjun bebas dari udara maka, kita menyelamatkannya
dengan perbaikan-perbaikan sistem dalam kenegaraan. Bangsa ini butuh Kepemimpinan
bukan Ketokohan karena kalau ketokohan saja yang dimunculkan itupun banyak di
kalangan Masyarakat. Kita sulit sekali beberapa tahun terakhir memiliki
Pemimpin dengan jiwa Kepemimpinan bukan Ketokohan dan Pencitraan semata.
Referensi;
Jazuli Juwaini, Otonomi Sepenuh Hati,
(Jakarta; Darussalam Publishing, 2015).
M. Dzulfikriddin, Mohammad
Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, (Bandung; PT Mizan Pustaka, 2010)
Panduan Kebijakan Nasional
KAMMI, GBHO dan Filosofi KAMMI dalam Muktamar IX Di Kalimantan Selatan,
2015.
Yudi Latif, Negara
Paripurna; Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia
Pustaka Utama.
Bahan Tayangan Materi
Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan MPR RI,
Sekretariat Jenderal MPR RI; 2011.
http://media-online.id/2014/10/gaya-kepemimpinan-presiden-indonesia.html
https://saripedia.wordpress.com/tag/tafsir-pancasila/
http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2011/05/16/3640/menjernihkan-tafsir-pancasila.html
http://www.kammikultural.org/2015/01/pancasila-paradigma-baru.html
http://www.komunitasnuun.org/2014/04/ikhtiar-hamka-menafsirkan-pancasila/